9. Hari-Hari Mengenang

13 1 0
                                    

"KINAN!"

Oh my...

Lengkingan suara Sasya itu membuatku meyumpah dalam hati. Kenapa harus di saat-sat genting gini, sih?

"KINAN! Ini tas jinjing lo ketinggalan," ucapnya seraya terengah-engah karena berlari mendatangiku.

"Iya, makasih ya," balasku dengan senyum terpaksa yang kuyakini sangat mengerikan.

"Lo kenapa?"

"Enggak papa, kok." Aku masih dengan senyum mengerikanku, "gue duluan, ya."

Lalu dengan langkah seribu aku berbalik, dan tanpa sengaja mataku menangkap sosok Kak Juna yang berdiri tidak jauh dariku, masih lengkap dengan tempat makanku di tangan kanannya. Baru saja aku mau mengambil langkah, namun terhenti olehnya yang melambai kearahku seraya mengucapkan makasih. Jantungku kembali ribut, walaupun kakiku serasa dipaku namun aku segera melangkah dengan tergesa setelah mengangguk untuk balasannya.

Jantung, tenanglah, semua sudah berakhir. Setidaknya untuk hari ini.

•••

Pagi ini terasa lebih mendung dibanding pagi-pagi kemarin. Entah memang cuacanya atau perasaanku saja. Rasanya pagi ini segala aspek mengharu biru.

Sudah dua hari setelah perkemahan kemarin, sekarang hari pertama kami masuk kembali ke sekolah dan mengikuti pelajaran seperti biasa. Agak ketar-ketir juga sih kalau nanti aku bertemu sama Kak Juna. Bingung ingin berkata apa, terasa awkward. Sedangkan aku yakin nanti kami akan bertemu, karena kotak bekalku yang masih di dia.

Aku masuk ke gerbang sekolah dengan kepala yang menengok ke sana-sini. Setelah yakin tidak ada sosok itu di sekitar, aku segera melangkah cepat. Aku terus berjalan cepat sambil mengamati sekitar, tidak seperti biasanya, sekarang aku tidak menghiraukan pikiran orang yang berpikir aku aneh karena berjalan tergesa-gesa seperti ini padahal waktu masuk kelas masih lama. Aku menghela napas lega saat jarakku dengan kelas sisa tiga langkah lagi. Kurapikan rambutku yang terasa acak-acakan, bukannya sok cantik, kalau lagi acak-acakan kan gak enak dilihat sama orang.

Tiba-tiba mataku menangkap sosok Kak Juna yang sedang duduk di depan kelasnya, berdua dengan Kak Ingga—teman sekelasnya. Sebelumnya pun aku sering melihat mereka berduaan. Memang sudah jadi rahasia umum, kalau Kak Ingga itu fans nomor satunya Kak Juna. Kak Ingga orangnya ramah, suka senyum sama semua orang. Kalau masalah cantiknya, sih, gak usah ditanya lagi. Semua orang yang melihatnya pasti akan mengakui kecantikannya. Dia berbakat di bidang debat Bahasa Inggris. Tak hanya sekali-dua kali ia menjadi perwakilan sekolah untuk mengikuti perlombaan-perlombaan besar taraf kota bahkan sampai nasional. Karena bakat dan kecantikannya itu pula, ia dinobatkan menjadi Duta SMA kami. Sempurna sekali, kan, dia? Aku saja iri.

Duduknya dekat sekali. Terlihat Kak Ingga yang sedang tertawa-tawa dan Kak Juna yang tersenyum lebar. Mereka sepertinya senang berbicara berdua. Mereka terlihat cocok, ya? Siswa teraktif yang menjadi kesayangan seluruh warga sekolah bersama siswi yang menjabat sebagai duta sekolah yang cantik dan berbakat. Sempurna.

Aku merasa aneh, entah atas dasar  esensi apa aku menatap mereka berdua seperti ini. Kejadian ini sama persis seperti yang kulihat di perkemahan kemarin, harusnya aku biasa saja karena memang sudah sering melihat lelaki itu berakrab ria dengan semua orang, namun kenapa akhir-akhir ini kegiatannya itu merenggut perhatianku, ya.

Ah sudahlah, aku banyak berubah aneh karena lelaki itu.

Segera kulangkahkan kakiku ke tempat duduk di sebelah Sasya.

"Kenapa tuh muka? Berlipet-lipet aja."

Aku hanya menggeleng acuh. Aku malas bicara.

"Dih, ditanyain juga." Aku diam seraya menghempaskan pantatku ke kursi.

"Oh iya, Ki...."

Belum selesai Sasya berucap aku sudah mengepakkan tangan kiriku ke depannya. "Kimia, kan? Ambil di tas."

Entah kenapa aku sekarang lagi malas sekali mendengar suara ocehannya. Biasanya aku orang pertama yang senantiasa mendengarkan semua ocehan Sasya. Tapi hari ini rasanya malas saja.

"Kenapa, sih, lo?"

"Gak papa kok, Sya. Cepetan deh kamu salin nanti Pak Ari keburu dateng."

Sasya terlihat diam menelitiku lalu sesaat kemudian mengangguk dan memulai kegiatan menyalinnya.

•••

Jam istirahat sudah berdering lima menit yang lalu, seperti biasa aku memakan bekal yang Mama siapkan setiap pagi. Sasya sedang ke kantin bersama teman-teman yang lain. Hanya aku sendiri yang ada di kelas setiap jam istirahat seperti ini, teman-temanku yang lain sih pasti sedang bersenang-senang di luar sana, bercanda, mencari teman baru, tebar pesona ke gebetan, dan lain-lain. Aku hanya terlalu malas melakukan kegiatan tanpa faedah seperti itu. Ada, sih, faedahnya. Mungkin lebih tidak berfaedah aku yang memilih berdiam diri di kelas layaknya manusia anti sosial ini.

Bagiku sih, waktu istirahat ya untuk istirahat, agar siap mengikuti jam pelajaran berikutnya nanti. Namun, yang kuperhatikan dari teman-temanku sekarang malah kebalikan dari pendapatku. Mereka sering mengantuk saat pelajaran, ya jujur, aku juga sering, sih... apalagi pelajaran sejarah, rasanya sedang didongengkan dengan kisah-kisah masa lalu manusia purba. Tapi, paling tidak aku selalu menghargai kehadiran guru, walaupun aku tidak mengerti atau tidak memperhatikan karena melamun dan mengantuk. Kadang aku suka kesal sendiri dengan teman-temanku yang dengan tidak tahu dirinya saling bercanda, main handphone, bahkan tidur di kelas saat jam pelajaran. Sampai tak sekali-dua kali guru merajuk dan memilih keluar dari kelas, kalau sudah begitu kadang hanya setengah dari mereka yang merasa bersalah, sedang setengahnya lagi merasa bersyukur. Kurang ajar kan mereka yang bersyukur? Tidak bisa ditangkap nalar memang pikirannya itu.

Sasya masuk ke kelas dengan tergesa-gesa, aku heran, manusia satu ini gak bisa santai sama sekali...

"Ki, Ki, lo harus tahu!"

"Apa?" jawabku malas.

"Kak Ingga lagi makan bareng Kak Juna di depan kelas mereka. Kak Ingganya malah nyuap-nyuapin Kak Juna gitu!"

Berita ini membuat perasaanku yang tadinya buruk semakin buruk. Tidak tahu apa yang salah dari beritanya, hanya tidak suka saja mendengarnya. Lagian, untuk apa Sasya memberitahuku? Apa urusanku?

Aku kesal sekali sekarang. Aku menundukkan kepalaku di atas kedua tanganku yang sudah dilipat, aku malas bicara sekarang. Biarlah Sasya cuap-cuap sendiri. Aku kesal sekali. Kenapa, ya, aku kesal?

"Ki, lo nangis?"

Aku bergeming.

"Ki, jangan gitu dong. Kan mereka belum pacaran, masih bisa dipepet, kok. Nanti gue kasih tips-tips modus, deh! Lagian Kak Juna itu nunjukin rasa sukanya cuma ke lo, kok. Walaupun lebih cantik Kak Ingga, bisa aja, kan, dia suka karena inner beauty lo itu."

Jadi Sasya bilang aku jelek, gitu?! Ya, memang, sih. Apalagi kalau disandingikan dengan Kak Ingga. Jauh sekali.

Aku kesal sekali! Astaga. Aku merasa kecil, minder.

"Tapi... tapi lo cantik, kok. Sebelas duabelas lah!"

Aku menegakan punggungku lalu menatap Sasya yang duduk di sampingku. "Gak usah peres juga kali, Sya. Aku nyadar, kok. Lagi pula, apa urusanku, sih? Mau mereka suap-suapan pake pisau juga aku gak urus, Sya."

"Terus kenapa langsung nunduk gitu waktu gue kasih tahu?"

"Ya... ya... lagi males ngomong aja. Lagi badmood. Terus makin badmood karena berita kamu itu."

"Kalau bukan urusan kamu, kenapa berita tadi bikin kamu makin badmood?" Sasya tersenyum penuh kemenangan.

Aku merutuki ucapan tanpa saringanku tadi.  "Ya... badmood aja. Emang gak boleh?"

Sasya tertawakanku dengan puas di tempatnya. Aku kembali menumpukan kepalaku ke kedua lenganku. Mulutku ini memang terkadang tidak bisa disaring. Jadi malu, kan. Tapi sama Sasya aja juga, sih. Jadi gak malu-malu banget.

"Kayaknya lo udah jatuh ke pesona Kak Juna, deh. Lo kayaknya mulai suka sama dia."

Aku tertegun di tempatku. Suka?

•••

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 08, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

3 Hari Penuh MemoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang