Bab 3. Besok

151 12 2
                                    

Ternyata, Aksa—nama yang tadi dibilang ibuku—adalah nama lelaki berkemeja itu. Tadi, setelah aku mengangguk pelan, dia langsung bangkit dari kursi, dan lantas mengajakku berjabat tangan. Tak hanya memberi tahu nama, dia juga mengaku kalau dulu adalah kakak kelasku waktu jaman SMP. Karena itu, aku melotot, masa sih?! Pantas saja, wajahnya agak familier.

Kata Kak Aksa—karena dia lebih tua dariku, maka aku memanggilnya kakak—sanak saudaranya kebanyakan tinggal di Banjarmasin, ketimbang di ibu kota—tempat tinggalnya sekarang—oleh karena itu, dulu dia memutuskan tinggal dengan pamannya dan bersekolah di sini. Sedangkan sekarang, dia dan ayah-ibunya hanya tengah berlibur sekalian berkunjung di kota ini saja. Mungkin sampai dua minggu, tambahnya—memberi tahu.

Selepas berjabat tangan, ibuku menyuruh kami duduk. Malam itu, kami ngobrol banyak, ini-itu jadi pembahasan, tidak surut-surut. Akan tetapi, terjeda saat ibuku menyentil punggung tanganku pelan. Aku menengok, bertanya tanpa suara, apa sih?

Ibuku komat-kamit menjawab tanpa suara juga, tamunya dibikinin minum gih! Cepet, ya! Sana-sana! Hus! Eh, sekalian makanan ringannya juga ya, di atas lemari! Oke!

Aku ber‘hiss’ pelan. Namun, akhirnya mengangguk, oke.

Ibuku tersenyum, gitu baru anak gadis ibu.

Aku menoleh, melihat Kak Aksa lagi, kini dia tengah memainkan benda kubus berlanyar ajaib miliknya—Hand Phone. Aku berdeham kecil.

Kak Aksa mendongak, tersenyum kepadaku.

“Kak, permisi mau ke belakang dulu, ya?”

Dia mengangguk. Mengiyakan.

Aku bangkit, dan lantas beringsut menuju dapur. Menyiapkan yang tadi disuruh ibuku.

Tak berselang lama, akhirnya aku berjalan kembali menuju ruang tamu seraya membawa talam yang berisi beberapa minuman teh hangat dan cemilan. Lantas kusajikan semua itu di atas meja, di hadapan semua orang. Satu-dua bilang, hih–jadi ngerepotin. Aku hanya tersenyum. Sedangkan yang lainnya tersenyum seraya berterima kasih. Aku hanya mengangguk.

Malam itu, aku dan Kak Aksa melanjutkan obrolan yang terjeda. Semakin akrab. Akan tetapi, saat dia melirik pergelangan tangan, dan bilang mau pamit lantaran sudah malam. Kita mengakhiri obrolan dengan kata, sampai jumpa, dan jangan lupa besok.

Oh ya, tadi di sela-sela obrolan kita, dia menyinggung soal besok akan berkeliling Banjarmasin bersama keluarganya, dan lantas dia pun menawariku ikut bersama. Aku pun tersenyum, mengiyakan.

Setelah itu, dia dan keluarganya bangkit, berpamitan seraya berucap terima kasih atas sambutannya malam ini.

Ibuku mengangguk seraya menjawab, sering-seringlah berkunjung kemari.

Aku hanya tersenyum.

Kak Aksa dan keluarganya pun beringsut keluar rumah dan berjalan menuju mobil pribadi yang terparkir di pekarangan. Mereka semua membuka pintu mobil, masuk, dan lantas menutupnya kembali.

Mesin mobil dihidupkan, kaca mobil diturunkan, menampakkan Kak Aksa yang tengah memegang setir. Kak Aska tersenyum, berseru sampai jumpa, dan memencet klakson.

Tak berselang lama, akhirnya mobil itu melaju meninggalkan pekarangan.

Meninggalkanku yang tengah tersenyum tipis di depan pintu rumah, tak sabar untuk hari esok. Ah, ada apa denganku?

————
ditulis pd tgl: 5/maret/2017
Didedikasikan untuk: swaraaa

Alnira Sari [hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang