Bab 6. Rumah Makan Lesehan

102 6 0
                                    

Hampir mau satu minggu Kak Aksa di sini. Satu-dua kali mengajakku berkeliling Banjarmasin lagi, atau tidak, mengajakku ke rumah makan lesehan pinggir jalan saat hendak menjelang sore. Kalau ditanya mau atau tidak, aku sih oke-oke saja. Toh, tidak salah, bukan?

Seperti sore ini, Kak Aksa mengajakku jalan kaki menuju rumah makan lesehan seperti biasa. Riang sepanjang jalan. Tak hiraukan teriakan orang yang tengah menjajalkan dagangan korannya, kecrekan pengiring nyanyian pengamen, dan klakson kendaran yang merebak keras.

Sesampainya di sana, Bu Aren-pemilik rumah makan lesehan-menyambut kami dengan senyum hangat khasnya seperti biasa.

"Pesen apaan Mas, Mbak?" Raden-anak kedua Bu Aren-bertanya seraya bercakak pinggang.

Kak Aksa menoleh kepadaku. Bertanya ulang versinya tanpa suara, mau pesen apa?

Aku menggaruk pelipis. Bukankah kalau kita ke sini selalu memesan itu-itu saja, kenapa mesti bertanya? Kebiasaan Kak Aksa, mudah lupa suatu hal.

"Oh ya! Ayam bakar sama es teh manis dua, ya Den!" seru Kak Aksa spontan. Kutebak, pasti dia baru ingat.

Raden ber'hiss' pelan. Sidikit sebal. Lantas beringut menuju ibunya. Palingan, bocah dua belas tahun itu tengah menggerutu dalam hati-kenapa mesti ingat sih?! Kan nggak jadi main!

Kalian tanya aku tahu dari mana? Aku tahu, lantaran pada hari ketiga kita ke sini, bocah itu menggerutu terang-terangan saat Kak Aksa berhasil mengingat apa yang hendak dipesannya.

Sambil menunggu pesanan datang, aku dan Kak Aksa melanjutkan obrolan tadi. Kendati ia sempat bertanya, sampai mana?

Tak berselang lama, obrolan kita terjeda. Pesanan datang. Kepulan nasi hangat berpadu ayam bakar di pinggirnya menggugah selera. Tak lupa, es teh yang menjadi penyejuknya.

Oh ya, selamat makan!

***
ditulis pd tgl: 11/maret/2017
Didedikasikan untuk:

Alnira Sari [hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang