Tak berasa, hari-hari berlalu cepat. Kini, tibalah Kak Aksa bersama rombongannya pulang ke ibu kota, kembali asal.
Aku menghela napas tertahan. Tersenyum agak tak ikhlas saat rombongan keluarga itu melambai tangan, salam perpisahan. Beberapa detik yang lalu, pengumuman pesawat yang hendak ditumpangi mereka akan segera berangkat. Jadilah, saat kami tengah asyik ngobrol terpaksa distopkan, rombongan itu lekas bersiap-siap.
Tak berselang lama, Kak Aksa bersama rombongan keluarganya hilang di balik kelokan. Sedangkan, rombongan keluargaku bergegas hendak pulang. Namun, beda hal denganku, sedari tadi hanya menatap kosong, perasaan kehilangan mulai sedikit menyepak ulu hati.
Ah, apa mungkin aku mulai menyukai Kak Aksa? Tetapi, bukankah itu terlalu singkat?
“Nir, mau jadi patung pajangan apa kau?” suara Koh Acong menyadarkanku dari lamunan.
Aku menoleh. Menggaruk tengkuk yang agak gatal.
“Mau pulang sekarang, Koh?” tanyaku.
“Yaelah, kau sudah betah di sini, ya? Kalau mau menginap—ya, tidak apa-apa, kita orang mau pulang.”
Aku mendengus sebal, tanya doang. Tetapi, jawabannya berlebihan.
“Iyee..., pulang iyeee...,” ucapku seraya menghentakkan kaki, berjalan lebih dulu.
Sudah tiga meter, sayup-sayup kudengar Koh Acong bergumam—apalah anak itu, selalu tidak jelas. Tidak bisa dibilang gumaman juga sih, sebab, volume suaranya terlampau keras.
Ayahku terkekeh. Sedangkan, ibuku melotot, dan menjawab—dasar kau, Pak Tua!
Oh ya, ayahku kemarin baru saja pulang dari Surabaya. Dia juga membawa segala macam cendera mata dari sana, dan hampir semuanya itu makanan. Ah, kalau diingat, aku yang terus-menerus memakannya, lantas apa kabar berat badanku ini? mungkin, agak bertambah. Semoga saja, tidak terlalu muluk-muluk. Ada amin?
Amin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alnira Sari [hiatus]
ChickLit[Akan direvisi setelah tamat] #223 dalam chicklit(4/3/2017) Berawal dari ibuku yang bilang, kedatangan tamu. Aku menunggu. Setelah tamu itu datang. Namun, tak berselang lama ia pulang, kembali asal. Aku pun menunggu. Lagi. Namun, untuk kasus yang...