Bab 2. Sudah Datang

162 14 9
                                    

Hampir mau delapan jam aku menunggu, jenuh berulang kali menghampiri.

Bahkan, penampilanku kini sudah bancuh, syal merahku saja sudah tersampir asal di atas pintu kamar. Ini benar-benar menyebalkan. Ya, bayangkan saja, sedari tadi aku hanya berdiri menyender di pintu utama rumah seraya mendengus dan celingukan. Mana sih, tamunya?

Sedangkan ibuku, sedari tadi hanya keluar masuk kamar cuma untuk bertanya padaku, sudah datang?

Demi Tuhan, kakiku kesemutan.

Ya, sudahlah, mungkin tamu ‘rahasia’ itu tidak jadi datang. Lagi pula, kenapa sih tamunya mau berkunjung ke rumah keluargaku? Padahal, di sini tidak ada istimewanya, kok. Ya, paling, hanya pasangan romatis, ayah dan ibuku, saja sih.

Daripada menunggu tamu yang tidak datang-datang, mendingan aku mandi dulu. Sudah sore. Kalau tidak salah sih, sekarang sudah jam lima sore.

Akhirnya, aku pun menutup pintu utama rumah, dan lekas beralih masuk ke dalam kamarku.

***

“Nira, tamunya sudah datang!” ibuku berseru di depan pintu kamar.

Ya, ampun, ini sudah mau azan magrib, dan tamunya baru datang? Siapa sih tamunya?

Aku membuka sedikit pintu kamar, dan menyembulkan kepala di sana.

“Kok, lapor ke aku, Bu?”

Kudengar ibuku ber‘hiss’ kilat.

“Ya, pokoknya, tamu ini penting buat kamu,” ungkap ibuku.

Mungkin, kalau aku jadi Cindy—teman seangkatanku waktu jaman sekolah dulu—pasti sudah menjawab, maaf, saya kurang paham.

“Ya, sudahlah, tapi bentar, aku mau ganti baju dulu, takut kurang sopan dilihat,” jawabku akhirnya.

Ibuku mengangguk seraya mengibaskan tangan dan berbicara tanpa suara, cepat sana!

Aku manggut-manggut, oke. Lantas menutup pintu.

Tak berselang lama, aku pun keluar kamar. Pas sekali, ibuku mau menilikku seperti tadi, ngomel suruh cepat. Namun tidak jadi, ibuku malah langsung menerbitkan senyum manis bak gulali seraya tergopoh-gopoh menghampiriku.

“Nah, ayo!” ujar ibuku antusias seraya menyambar tanganku, dan membawa ke ruang tamu.

Sesampainya di ruang tamu, ibuku berdeham-deham, semua orang—entah siapa, namun, agak terasa familier bagiku—yang tengah duduk dan berbincang, serta-merta menoleh.

Salah satunya lelaki berkemeja yang agaknya berumur satu tahun di atasku.

“Ini Niranya, Nak Aksa, yang dari tadi ditanyain terus,” ujar ibuku seraya mendorong punggungku pelan, instruksi untuk lebih maju.

Aku tersenyum tipis seraya mengangguk pelan.

————
ditulis pd tgl: 4/maret/2017
Didedikasikan untuk: ulfii29

Alnira Sari [hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang