TRT : Chapter Six

138 28 41
                                    

With Tommy, Chuckie, Phil and Lil, I'll never feel alone

"They just have to listen to me and do what i tell them"

👑👑👑

Hari ini rumahku begitu damai, tidak ada paman dan bibi, otomatis tidak ada tawa cempreng para bayi, serta gonggongan Spike yang menyebalkan. Spike memang bukan anjingku, tapi milik Paman Stu, dan selalu ikut ke mana pun Paman pergi. Kalau aku lebih suka memelihara kucing, karena lebih bersih, lebih tenang, dan tentu saja lebih cocok untuk seorang putri. Aku punya satu kucing bernama Fluffy, nama itu melambangkan bulunya yang tebal dan lembut, berwarna putih seperti salju. Saking panjang bulu Fluffy, sampai bisa dikuncir menjadi dua, sama seperti model rambutku sehari-hari. Kami kelihatan seperti kembar.

Aku sangat menyayangi Fluffy karena kami punya kemiripan, yaitu membenci para bayi dan Spike. Fluffy selalu mendesis setiap kali melihat para bayi, bahkan sering kali hidung Spike menjadi sasaran cakar tajamnya. Padahal anjing itu tidak melakukan kesalahan apa pun, ketahuan sekali Fluffy hanya melakukan itu untuk senang-senang.

Makanya Spike lebih suka bermain di halaman belakang, menghindari Fluffy yang mengusai hampir seluruh ruangan di dalam rumah. Sekarang kucing manis itu meringkuk di dekat meja tehku. Sore ini, aku dan Cynthia berdandan untuk acara minum teh, seperti anggota kerajaan sungguhan. Tidak lupa aku mengenakan tiara plastik, karena ingat hari ini ada janji.

Ayah sedang fokus menonton pertandingan Golf di TV, sementara ibu tentu saja bekerja di ruangannya. Tepat ketika ayah bersorak karena jagoannya berhasil memasukkan bola ke dalam lubang, bel pintu depan berbunyi. Sedikit mengeluh pria itu menghampiri, dan aku mengekor di belakang. Begitu pintu di buka, hal pertama yang kulihat adalah cengiran Suzie, anak itu mengenakan seragam suster putih lengkap dengan topinya. Begitu mendongak barulah aku sadar ada sepasang suami-istri, juga dua anak, masing-masing laki-laki dan perempuan ikut bersamanya. Aku sontak bersembunyi di balik kaki ayah.

"Halo, Tetangga. Kami penghuni baru rumah depan, hanya ingin memperkenalkan diri. Kau tahu, sebagaimana mestinya tetagga yang baik, dan kau tidak perlu kaget lagi kalau-kalau ada suara gaduh terdengar dari sana. Namaku Robert Cormicle, kau bisa memanggilku Bob." Pria paling besar bicara dengan suara berat, tapi bersahabat. "Ini istriku Tina, dan anak-anakku. Aliza, Sam, dan Suzie."

Ayah membenarkan posisi kaca matanya sebelum balas menjabat tangan Tuan Robert, disertai senyum lebar. "Oh, Astaga. Aku bahkan tidak tahu rumah itu sudah ada penghuninya. Namaku Andrew Pickles, panggil saja Drew. Dan ini putriku satu-satunya ...."

"Hai, Angelica!" Suzie menyapa lebih dulu, membuat ayah terperangah.

"Kalian sudah saling kenal rupanya?"

Nyonya Tina tertawa. "Anak-anak selalu selangkah lebih cepat. Kemarin Suzie datang ke halaman belakangmu untuk menemui Angelica. Dia bahkan memaksa ingin memakai seragam suster ini, katanya mereka akan bermain bersama."

"Oh, itu sebabnya Putriku juga memakai pakaian indah serta tiara. Kalian membuat janji rupanya." Ayah mengelus kepalaku. "Kalau begitu, kita masuk saja, mengobrol ditemani secangkir kopi, bagaimana?"

"Tentu ... tentu. Kami pun sudah membawa kue kering buatan rumah." Tuan Robert membuat gestur berbisik, padahal suaranya terdengar jelas. "Istriku paling ahli membuat kue kering. Rasanya terbaik di seluruh dunia. Yah, setidaknya bagiku pribadi hahaha."

Nyonya Tina memukul suaminya manja sambil terkikik. "Ah, kau bisa saja."

Ketika Tuan Robert dan Nyonya Tina saling rangkul, ayah ikut tertawa, meski arus matanya terlihat sendu. Mungkin iri karena ibu tidak pernah membuat kue kering, atau karena mereka tidak pernah saling rangkul semesra itu. Namun, membuat kue kering dan saling rangkul adalah hal-hal sepele, sedangkan ibu terlalu sibuk untuk hal-hal sepele. Aku yakin ayah lebih mengerti.

The Rugrats Theory (Pindah Ke Kwikku)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang