👑👑👑
Para bayi saling menopang tubuh satu sama lain, si kembar paling bawah menjadikkan punggung mereka sebagai papan pijakkan, lalu bayi paling tua di atas mereka, menggendong bayi paling muda di pundak, yang kedua tangannya terulur berusaha keras menggapai stoples di atas nakas. Seaindainya tangan cebol itu lebih panjang beberapa centi, mungkin mereka akan berhasil.
Tawaku nyaris meledak ketika bayi-bayi bodoh itu kehilangan keseimbangan beberapa detik sampai nyaris terjatuh, tapi mengingat mereka sudah membuat aku menunggu begitu lama, jangan harap senyuman yang akan keluar dari wajahku. Aku menghampiri, segaja dengan kaki yang dientak-entakkan.
"Ya ampun, kalian sedang apa! Berapa lama Tuan Putri Angelica harus menunggu, hah? Tidak ada tuan putri yang menunggu, tahu!"
"Ma—maaf, Angelica. Ma—maksudku ... Yang Mulia Angelica. Ka—kami agak kesusahan mengambil stoples itu, dan ra—rasanya aku tidak kuat lagi mengangkat tubuh Tommy di pundak. Dan a-aku sangat kebingungan ...." Bayi paling tua menjelaskan dengan susah payah akibat napas terengah-engah.
"Sedikit lagi ... coba saja kau mau berjinjit dari tadi!" sahut si bayi paling muda di pundaknya.
"A—aku mau sekali melakukannya! Ta—tapi saat aku berjinjit ...." Bayi berkaca mata itu berjinjit, membuat si kembar yang menjadi pijakan menjerit.
"Hati-hati, dong!"
"Jangan berjinjit! Sakit, tahu!"
"Lihat, 'kan ... i—ini benar-benar mem—membingungkan!"
Aku memutar bola mata dibarengi helaan napas kasar. "Sudah tahu badan kalian pendek kenapa masih menggunakan cara bodoh ini? Memangnya kalian tidak punya otak! Minggir!" Sekali dorongan kuat, tubuh keempat bayi runtuh seperti menara, dan mendarat saling tindih. "Biar kutunjukkan cara yang benar!"
Aku menghampiri meja makan, menarik salah satu bangku mendekati lemari. Para bayi memperhatikan sambil mengusap-usap kepala yang pasti terasa nyeri akibat terjatuh tadi. Dengan satu lompatan cepat aku sudah berhasil naik ke atas bangku. Nah, dari bangku ini, siapa pun bisa mencapai stoples kukis itu, bahkan bayi yang baru lahir. Tentu saja bayi-bayi tidak memikirkan cara ini, memangnya mereka pernah berpikir! Sekarang stoples kukis di atas lemari sudah berpindah ke tanganku.
"Lihat, kan? Aku bisa mendapatkannya sendiri dalam beberapa menit saja! Kalian tahu apa artinya?"
Keempat kepala di bawahku menggeleng takzim.
"Artinya aku lebih hebat dari kalian dalam segala hal, dan kalian tahu apa lagi?" Lagi-lagi mereka menggeleng. "Karena aku mengambil stoples kukis sendiri, maka tidak ada imbalan kacang ajaib untuk kalian!"
Eskpresi para bayi berubah drastis, terlalu drastis sampai aku tidak sadar kapan wajah-wajah itu mulai memasang ekspresi marah dan kecewa. Tommy, si bayi paling muda yang memang selalu jadi juru bicara, berteriak lebih dulu.
"Tapi kami sudah berusaha sekuat tenaga! Pokoknya kami tetap menginginkan kacang ajaib itu sebagai imbalan!"
"Apa gunanya berusaha kalau tidak ada hasil ... tidak ada hasil sama dengan tidak ada imbalan!" bentakku tidak mau kalah.
"Itu tidak adil, Angelica. Usaha kami pantas diberi imbalan!"
"Kalau tidak, kami akan mengambilnya sendiri, loh!" Seperti biasa Si kembar bicara bergantian.
Aku terkekeh penuh sindiran, kalau mereka tahu apa itu sindiran. "Memang apa yang bisa bayi-bayi bodoh lakukan selain menangis? Menangis saja sana!"
Tommy mendengkus. "Bayi harus melakukan, apa yang harus mereka lakukan! Jatuhkan dia!"
Tubuh-tubuh kecil itu mengelilingi bangku yang sedang kugunakan, meraih setiap sisi, kemudian mengguncangnya bak ayunan. Tentu saja aku menjerit, dan berpegangan kuat-kuat pada sanggahan kayu, tapi ternyata tenaga para bayi menjadi besar ketika mereka melakukannya bersama-sama.
"Apa yang kalian lakukan! Ini namanya pengkhianatan! Cepat berhenti!"
Mereka tidak mendengarkan, dan tetap melakukan hal sama sampai cengkramanku pada sanggahan kayu terlepas, tubuhku terjun ke bawah bersama stoples kukis yang lebih dulu pecah ketika menghantam lantai. Aku terbelalak, berbalik menghadap keempat bayi dengan mata melotot.
"Lihat apa yang kalian lakukan! Cepat bereskan kekacauan ini!"
Namun, keempat bayi malah menutup mulut sambil cekikikkan. Sepertinya pecahan stoples membuat kegaduhan luar biasa, para orang tua di ruang tamu mulai bertanya-tanya apa yang terjadi, disusul langkah-langkah kaki mendekat. Para bayi sigap merangkak menjauh, dan bersembunyi di salah satu nakas yang terbuka.
Nakas itu cukup besar untuk menampung mereka semua di dalamnya, sambil masih terkikik mereka menutup pintu nakas dengan sempurna. Para orang tua akhirnya sampai di dapur, mereka menatap stoples kukis yang pecah berhamburan, lalu menatapku. Ayah mengusap wajah sebelum menjajarkan dirinya dengan tubuhku.
"Kau bisa menjelaskan apa yang terjadi, Tuan Putri?"
"Bukan aku yang melakukannya, tapi para bayi," jawabku segera.
"Tapi, Sayang, tidak ada siapa pun di sini selain dirimu."
"Ya, karena mereka sudah bersembunyi!"
"Angelica, menyalahkan orang lain atas prilakumu itu bukan sifat yang baik." Bibi Didi ikut bicara, dan aku hanya balas menatap sinis.
"Pokoknya ini bukan salahku!"
"Keras kepala seperti ibunya ...."
Tidak ada yang menanggapi ucapan Bibi Betty barusan, tapi aku tidak terima wanita itu mengatakan sesuatu yang buruk tentang ibu, bahkan hidung ayah sedikit mengerut. Aku yakin dia juga merasakan hal yang sama, tapi karena Bibi Betty bukan keluarga kandung, mungkin ayah segan menegur.
"Jangan bicara sembarangan, Bibi! Kenapa tidak memikirkan badan bibi yang keras seperti batu!"
"Astaga, Angelica. Tidak sopan bicara pada orang tua dengan nada seperti itu." Telunjuk Paman Howard bergoyang-goyang di depan hidungku. "Cepat minta maaf, Nak."
Aku memalingkan wajah. "Minta maaf untuk apa, aku tidak salah!"
Paman dan bibi menggeleng nyaris bersamaan, lalu ayah menepuk kepalaku dengan lembut. "Sudahlah, tidak usah dibahas lagi ... lain kali, kalau ingin kukis minta saja pada ayah, ya? Pasti ayah berikan. Sekarang kembalilah bermain di halaman belakang, biar ayah yang membereskan ini."
Sambil berjalan keluar dari dapur, aku bisa mendengar suara paman dan bibi mengatakan sesuatu. Mereka bilang ayah terlalu memanjakanku, katanya sifatku tidak seperti anak-anak lain, dan aku harus pergi ke dokter. Aku tidak tahu apa yang mereka pikirkan, tapi kalau ayah terlalu memanjakanku itu memang benar, dan aku senang.
Kalau sifatku tidak seperti anak lain, itu juga benar. Aku tidak mau sama seperti anak lain, apa lagi para bayi yang bodoh, aku ingin menjadi lebih dari itu. Dan kalau mereka bilang aku harus pergi ke dokter, itu tidak perlu! Aku sehat, bahkan sangat sehat sampai ingin menjewer telinga para bayi saat ini juga.
Ternyata mereka berempat sudah lebih dulu kembali, bermain-main di halaman belakang seolah tidak ada yang terjadi. Mereka pasti mengendap-endap ke luar ketika aku tengah dihakimi!
Para pengkhianat kecil, jelek, jorok, bau, berliur. Bagaimana mungkin paman dan bibi betah tinggal berlama-lama dengan makhluk seperti itu. Tunggu dulu ... mereka juga sama menyebalkannya. Lupakan membuat hari para bayi menyenangkan! Akan kubuat sisa hari mereka di sini terasa seperti di neraka.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Rugrats Theory (Pindah Ke Kwikku)
Novela JuvenilAngelica Pickles memiliki hidup yang begitu menakjubkan. Dia anak perempuan tunggal kesayangan orangtua berserta paman dan bibinya. Dia cantik, pintar, dicintai banyak orang, dan memiliki daya tarik yang luar biasa. Angelica adalah seorang putri ya...