<<EMPAT>>

2 1 0
                                        

Palembang 1994

Sore itu suasana rumah sakit tampak ramai. Farhan duduk di kursi hijau yang ada di depan ruang UGD. Ia belum sempat melihat bagaimana keadaan bapaknya, sejak ia tiba dirumah sakit. Sudah lebih dari 1 jam dokter memeriksa bapaknya. Sementara di ujung koridor rumah sakit Bi Atin sibuk menenangkan Reyhan yang terus saja menangis.

"Bapak kamu gimana?" seorang wanita cantik menghampirinya.

Farhan hanya menggeleng. Bi Atin tampak mendekat dan berbincang dengan Tante Dira. Tante Dira adalah istri dari Om Fajar, adik kandung Ibu Farhan, tapi Farhan sama sekali tidak dekat dengan tantenya ini. Selain rumahnya jauh, Tante Dira juga sangat cerewet dan Farhan benci itu.

Minggu demi minggu terlewati, bulan pun telah berganti. Setiap pulang sekolah Rayhan selalu datang ke rumah sakit untuk menjenguk bapaknya. Tapi keadaan bapaknya tak kunjung membaik. Dua bulan sudah Bapak Rusdiantoro, orang yang paling Farhan sayangi terbaring tak sadarkan diri. Sejak kecelakan itu, bapak Farhan bagaikan mayat hidup. Berbagai selang dan mesin-mesin canggih yang ada di sebelah tempatnya berbaring, yang telah menopang hidupnya selama ini. Namun Farhan tidak pernah putus asa, dia sangat yakin ayahnya akan segera pulih.

Siang ini, masih sama dengan siang-siang yang lalu. Rayhan berjalan gontai di koridor rumah sakit. Harapannya juga masih sama, ia berharap saat ia mesuk ke ruang perawatan bapaknya, lelaki itu tersenyum menyambutnya.

"Bagaimana dok? Apa bisa dilakukan euthanasia?"

Farhan mengenali suara itu, di balik pintu Farhan mendengar percakapan Tante Dira dan dokter yang merawat ayahnya.

"Tapi kondisi pasien makin membaik,"

"Kami tahu Dok, tapi sampai kapan kami harus menunggu. Kami tidak cukup mampu untuk membiayai perawatannya."

"Saya mengerti, akan saya bicara kan lagi dengan dokter Harris, karena dia lebih senior."

"Baik terima kasih Dok"

Farhan tercekat, ia masih belum memahami benar percakapan itu, Euthanasia apa itu? Telinga Farhan terasa asing dengan kata-kata itu. 'aku harus tahu' batin Farhan.

"Farhan, kamu harus bersiap kalau kamu mau ikut menguburkan bapakmu."

Itu sudah ketiga kalinya Tante Dira memanggilnya. Namun Farhan tak bergeming, besok adalah hari pertamanya memakai seragam putih biru, tapi apa hadiah yang dia terima? Mengapa bapaknya malah pergi? Farhan shock! Ia menggitit bibir bawahnya dengan keras, ia berharap itu bisa mengurangi sakitnya. Badannya bergetar, ia sudah tidak bisa membendung lelehan air mata dari kedua sudut matanya. 'Tuhan, apa lagi ini? Apa Kau tak puas sudah mengambil ibuku? Apa lagi setelah ini Tuhan? Mengapa tidak sekalian Kau bunuh aku?'

Rinai hujan mengiringi proses pemakaman bapak Farhan. Om Fajar, Tante Dira dan kedua anaknya serta beberapa kerabat lainnya hadir di pemakaman. Pak RT dan para tetangga tak ketinggalan menghantarkan Bapak Farhan ke peristahatan terakhirnya. Farhan tidak bisa melakukan apapun, sejak tadi ia hanya mematung memandangi jasad bapaknya yang sekarang mulai ditimbuni tanah. Farhan sudah tidak peduli lagi bagaimana hujan kian deras menerpa tubuhnya. 'Pak, bagaimana Bapak tega meninggalkan aku dan Reyhan?' Farhan terus menangis dalam diamnya.

Saat doa-doa dipanjatkan dan lantunan adzan dikumandangkan. Ada sebuah ketenangan dalam diri Farhan. Bagaimana pun ia sadar, ada Reyhan yang masih bergantung padanya. Ia harus kuat. Ia tidak boleh menangis lagi, setidaknya tidak di depan Reyhan. Ia harus menjadi kakak yang baik untuk Reyhan. Harus!

Bernafas SejenakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang