<<TUJUH>>

1 1 0
                                    


Jauh di dalam hatiku, aku ingin melupakan semua ini. Lepas dari bayang-bayang masa lalu, dan menjalani kehidupan normal bersama Reyhan. Tapi luka yang mereka goreskan 18 tahun yang lalu, sudah borok. Membusuk dan bertambah besar, melubangi hatiku, menghancurkan jiwaku.

Hati ini tak pernah tenang, jiwa ini tak pernah tentram. Teriakannya memberontak menuntut balas, atas kehidupan yang mereka hancurkan kala itu. Kini, angan untuk menjalani kehidupan bersama Reyhan, musnah sudah. Biar aku selesaikan semua. Saat mentari bersinar esok pagi, mata-mata jahanam itu tak kan lagi melihat seberkas cahayanya.

Aku memang sengaja menyewa sebuah mobil limousin silver, karena hanya dengan harta mereka bisa dikontrol. Mata-mata yang haus akan uang itu, ah aku paling jijik membayangkannya. Aku ingat betul kejadian itu....

_____oooO۩Oooo_____

Palembang, 1994

Langit terlihat ramai dengan bintang-bintangnya yang bertaburan, berkelap kelip seolah berbincang satu dengan yang lain. Farhan sedang menatap langit malam sendiri, tiba-tiba ia mendengar suara yang sedang bercakap-cakap. 'Suara siapa itu' batin Farhan. Ia bergegas turun dari atap, menuruni tangga kayu, yang ditemukannya di gudang belakang. Dari jendela yang ada di samping ruang tamu, Farhan mengintip seorang lelaki yang dikenalnya sebagai Om Nico, teman baik almarhum ayahnya sedang bercakap dengan Tante Dira.

"Jadi bagaimana? Hak waris itu masih atas nama kami sebelum Farhan berusia 17 tahun kan?" Farhan tahu betul itu suara tante Dira.

"Iya, bahkan diberikan sepenuhnya kepada kalian untuk merawat dan menyekolahkan Farhan dan Reyhan."

Farhan menatap senyuman bahagia dari Tante Dira, 'Jadi, sebenarnya ayah meninggalkan uang untuk membiayai kami. Mengapa iblis itu tidak mau membelikan susu untuk Reyhan. Dasar iblis!"

Farhan memfokuskan lagi pendengarannya,

"Lalu, bagaimana dengan rumah itu? Apa sudah ada yang tertarik untuk membelinya?"

"Belum, kemarin memang ada yang berminat. Tapi sepertinya belum cocok harganya."

"Ya sudah, kami menunggu kabar dari Anda. Terima kasih bantuannya."

Farhan melihat Om Fajar dan Tante Dira bersalaman dengan Om Nico. Lalu Om Nico pun pergi. Farhan menyelinap ke belakang sebelum Tante Dira dan Om Fajar memergokinya.

'Jadi seperti ini yang mereka lakukan? Tapi mengapa mereka jahat sekali. Apakah harta dengan semudah itu membutakan mata mereka? Ataukah semua ini memang rencana mereka?' beragam pertanyaan menghantui Farhan, ia bingung apa yang harus ia lakukan. Haruskah ia pergi? Tapi, bagaimana dengan sekolahnya? Satu hal yang ia tahu, ia harus menuntut semuanya. Harus.

Palembang 2012

Rumah ini masih sama saat 18 tahun yang lalu. Rumah besar yang menyimpan sejuta kelam. Tak ada yang berubah dari bangunan ini, hanya pagarnya sekarang sudah lebih bagus, entah uang siapa yang mereka gunakan untuk merenovasinya.

Tinnnn ... Tinnnn...Tinnnn

Seorang gadis membukakan pagar rumah. Kuparkirkan mobil sewaan ini di halaman rumah. Segera aku turun dengan koper kecilku.

"Tante Dira ada? Kamu Anggi kan?"

"Iya, kamu siapa ya?" Anggi tampak pangling dan tidak mengenaliku.

"Aku Farhan." Senyumku ramah.

"Kak Farhan? Oh ya, Kak Farhan, apa kabar Kak?"

Anggi menyalamiku, ia memperhatikan aku dari ujung kaki sampai ujung kepala. Dan aku juga melihat jelas saat matanya menatap mobil yang kubawa tadi. Ternyata benar, buah itu jatuh tak jauh dari pohonnya.

Bernafas SejenakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang