<<TIGA>>

2 1 0
                                        


Palembang, 2012

Angin berhembus kencang. Reruntuhan daun kamboja yang mengenai kepalaku, sontak membuyarkan semua lamunanku. Ah, Bapak. Maafkan aku lama tak datang. Apa kabarmu? Apa kau merasa damai di sini? Pak, aku sudah berhasil sekarang. Hidupku berkecukupan, Reyhan pun sudah kuliah dan hampir selesai. Saat ini aku sudah mengerti arti Euthanasia, itu bukan penyakit seperti kata mereka, mereka bohong Pak, mereka membohongiku. Hari ini aku kembali, aku akan menyelesaikan semuanya. Hutang beras harus dibayar dengan beras. Begitu juga luka, yang harus dibayar dengan darah. Mereka harus membayar lunas, lengkap dengan bunga-bunganya. Bukankah begitu Pak? Secepatnya, aku akan menemuimu.

Ah, lega rasanya, semua beban selama belasan tahun kulepaskan semua. Di sini, tak ada orang yang mengenalku, aku bisa menangis sepuasnya. Tak perlu menyembunyikan perasaanku. Bapak, hanya di depanmu aku bisa menjadi diriku seutuhnya, meski kau tak bicara sepatah katapun aku tahu, kau mendengarkan semua ceritaku, bukan?

Langit sore yang indah. Mentari bersinar cerah, guratanya membentuk lukisan abstark di langit biru. Awan awan berkumpul, mempertegas lukisan-lukisan itu. Ah indah sekali, Sungguh Tuhan Maha Pencipta. Aku harus bergegas banyak hal yang harus kulakukan disini. Semua akan kuakhiri Pak, secepatnya.

_____oooO۩Oooo_____

Aku berdiri di depan sebuah rumah dengan atap rumbia. Rumah sederhana yang beralaskan tanah. Ah, mungkinkah Bi Atin selama ini tinggal di rumah seperti ini? Bajingan! Semua ini takkan terjadi bila mereka tidak ikut campur dalam kehidupanku. Mereka mengacaukan segalanya.

"Cari siapa Dek?" perempuan tua dengan daster lusuhnya menyapaku,

"Bi Atin?" aku sedikit mengenali wajahnya. Tahi lalat di pelipisnya terasa sangat familiar.

"Iya, Adek siapa ya?" ujarnya heran

"Aku Farhan Bi," kucium tangannya yang mulai keriput, kupeluk tubuhnya yang semakin mengecil. Ah, aku begitu merindukannya.

"Farhan, kemana saja kau Nak, Bibi mendengar kabar kau lari dari rumah itu. Bibi khawatir sekali."

"Aku jengah di sana, aku membawa Reyhan ke Jakarta Bi, mengadu nasib."

"Ayo, masuk ke dalam. Kamu pasti lelah sekali."

Bi Atin mengajak ku masuk ke gubuknya. Rumah yang hanya berdinding anyaman bambu ini tertata rapi meski tak ada furniture yang memadai. Segelas teh hangat dan sekaleng roti gabing disajikannya.

"Minum dulu, seadanya. Bibi tinggal sendiri di sini."

"Iya Bi, makasih" jawabku sekenanya.

"Memangnya, mamang kemana Bi?"

"Mamang sudah meninggal 5 tahun yang lalu," jawab Bi Atin dengan suara bergetar,

"Innalillah, jadi sekarang Bibi kerja apa Bi?"

"Ya, bantuin tetangga di sini, kadang beresin rumah, cuci baju, apa saja, asal halal." Ya Tuhan, alangkah susah hidup Bi Atin, diusianya yang sudah tak muda lagi ia mesti bekerja keras untuk hidupnya.

Aku terdiam sejenak, apakah sebaiknya Bi Atin kuajak ke Jakarta? Setidaknya ada yang menemani Reyhan setelah aku pergi. Ya, mereka berdua pasti bisa hidup bahagia.

"Reyhan apa kabarnya? Pasti sudah besar ya?"

"Reyhan udah kuliah Bi, Alhamdulillah kehidupan kami di Jakarta jauh lebih baik."

"Syukurlah, Bibi ikut senang mendengarnya. Bagaimana kau bisa bertahan hidup di kota megapolitan itu Farhan,"

Farhan terdiam sejenak, perlahan kisah-kisah kelam itu mengalir dari bibirnya,

_____oooO۩Oooo_____

Bernafas SejenakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang