"Farhan, kamu timbakan air untuk mandi. Jangan lupa angkat jemuran. Disini ga ada Bi Atin. Kamu harus mandiri."
Baru saja Farhan akan menimba air, telinganya menangkap suara tangisan Reyhan. Adiknya itu pasti sudah bangun. Farhan segera berlari menghampiri Reyhan di kamar. Benar saja, Rayhan sudah terbangun, Farhan meyiapkan botol susu untuk adiknya, tapi sudah tidak ada susu yang terisi dalam box itu. Ia pun menggendong Reyhan yang terus saja menangis.
"Tante Dira, susu Reyhan habis. Bisa tolong belikan sekotak susu untuknya?" Tanya Farhan sopan.
"Kamu pikir nyari uang itu mudah? Kamu itu numpang di sini! Bisa makan aja syukur, ini malah minta susu. Sudah sana kembali bekerja. Sebentar lagi kamu harus sekolah."
Nafas Farhan memburu, ada benci yang tumbuh di hatinya. Kalau Tante Dira ingin menyiksanya, menyuruhnya terus bekerja atau apa pun, Farhan masih bisa terima. Tapi kalau sudah menyangkut Rayhan. Farhan tidak bisa terima.
"Tapi Rayhan terus menangis Tante, tolong belikan susu untuknya. Aku janji, besok aku akan bekerja lebih giat dan bangun lebih pagi," bujuk Rayhan lagi.
"Sudahlah. Diamkan saja, nanti juga tangisnya reda. Jangan dimanjakan adikmu itu."
Tante Dira pergi, meninggalkan Farhan yang masih mematung di sana.
_____oooO۩Oooo_____
Wajah Farhan berseri-seri. Hari ini, ia mendapatkan uang seratus ribu dari pihak sekolah atas prestasinya memenangkan lomba pelajar teladan seminggu yang lalu. Kegembiraan tergambar dari senyumnya manakala 2 kotak besar susu berhasil didapatnya dari kios Mang Udin di seberang jalan.
"Assalamualaikum," sapa Farhan di pintu rumah. Tapi tak ada jawaban. Biasanya Rayhan sudah menunggunya di pagar depan. Rumah tampak sepi. Farhan lantas masuk ke dalam dan hendak menuju kamarnya.
Plak! Tamparan keras itu mendarat dipipi Reyhan. Farhan melihat jelas kejadian itu, ia merasakan wajahnya ikut berdenyut sakit. Ada kebencian yang membuncah. Ada sebuah dendam yang tumbuh kian membesar.
"Cukup Tante" Farhan segera mengendong Rayhan dan menjauh dari Tante Dira.
Reyhan masih saja menangis, ada cap merah di pipinya. Farhan mengunci kamarnya yang hanya berukuran 2x3 meter itu. Diciumnya adiknya dengan lembut, diusapnya air mata yang tak kunjung berhenti mengalir itu. 'Rayhan, jangan menangis lagi. Malam ini kita pergi. Kakak akan membawa kamu ke tempat yang lebih baik.' Farhan lalu membuatkan sebotol susu untuk adiknya. Perlahan, tangis Reyhan reda dan ia pun tertidur.
Farhan gelisah memikirkannya, kemana ia harus pergi? Kalaupun ia dan Reyhan menemui Bi Atin, Tante Dira pasti akan menemukan mereka. Lantas, kemana mereka harus pergi? Farhan menghitung rupiah demi rupiah uangnya. Belum cukup banyak, lalu diambilnya celengan kecil berbentuk ayam di dalam tas besarnya. Celengan ini merupakan permberian ibunya, 3 tahun sudah Farhan menyimpan sisa uang sekolahnya disini, seperti permintaan ibunya. 'Aku sangat membutuhkannya sekarang Bu,'
_____oooO۩Oooo_____
Malam itu, saat semua orang sudah tertidur, Farhan membawa sebuah tas gendong yang berisi beberapa pakaiannya dan Reyhan serta perlengkapan susu Rayhan. Ia mengendap-endap melewati dapur, ada sebuah botol air mineral di sana, meski ragu akhirnya Farhan mengambilnya juga. Bebannya bertambah berat sekarang, ada beban sekitar 10 kg di tasnya dan ditambah ia harus menggendong Reyhan yang terlelap tidur. 'Tuhan, beri aku kekuatan.' Ucapnya lirih. Farhan pun bergegas mengendap-endap keluar dari rumah itu.
_____oooO۩Oooo_____
Setelah berhasil keluar dari rumah itu Farhan berjalan tak tentu arah. Jam ditangannya sudah menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Ada rumah makan diujung sana, mungkin ia harus mengisi dulu perutnya dengan nasi.
"Pak nasi telor satu" Farhan menyodorkan uang receh sebanyak dua ribu rupiah. Dibangunkannya Reyhan, mereka pun berbagi nasi itu. Di tengah keramaian Rumah makan itu, Farhan melihat seorang ibu yang sedang menyuapi anaknya, 'ah kalau saja ada ibu' batin Farhan.
"Ibu, kita mau kemana?" tanya anak perempuan berkuncir dua itu
"Ke Jakarta, kamu kangen kakekmu kan?" jawab sang ibu
"Naek bem bem?" Tanya anak itu lagi,
"Iya sayang, kamu minum dulu ini, biar nanti ga mabok," Ibu itu menyuapkan pil anti mabok pada anaknya, Farhan masih memperhatikan mereka.
"Nah, sebentar lagi busnya datang. Kita akan segera berangkat."
'Ah, iya. Kenapa aku tidak pergi ke Jakarta saja? Seperti mereka.'
Setelah menunggu sekitar 1 jam, ibu dan anak wanitanya itu beranjak pergi, Farhan pun dengan sigap mengikutinya, masuk di bus yang sama dengan mereka. Meski ragu Farhan sudah siap dengan segala resikonya. Sekarang ia membiarkan dirinya tumbuh dewasa sebelum waktunya. Ia merelakan masa remajanya demi Reyhan, demi kebahagian adiknya itu. Ia harus berhasil, 'Akan kutaklukkan Jakarta. Sekeras apapun itu.'
KAMU SEDANG MEMBACA
Bernafas Sejenak
ActionGelombang kehidupan itu relatif, tidak mutlak. Kadang angin membawanya berlari jauh ke tengah samudra. Melebur, bercampur buih-buih lautan yang jumlahnya tak terhingga. Namun kadang angin pulalah yang membawanya kembali ke pantai. Terhempas dengan k...