Jakarta 1994
'Malam yang suram, sesuram inikah Jakarta' batin Farhan, ia duduk di kursi taman yang kosong. Dirapatkannya jaket hitam itu ditubuh Reyhan yang tertidur pulas.
Wuing.. wuing...wuing
Sirine Satuan Polisi Pamong Praja menghebohkan malam itu, banyak waria dan gelandangan yang berhamburan, berlari mencari tempat aman.
"Ayo, kamu ikut ke pos," ujar seorang Sat Pol PP mengejutkan Farhan
"Tapi pak, saya bukan gelandangan. Saya tidak mengemis"
"Sudah, kamu ikut saja dulu," polisi itu menari kuat lengan Farhan
"Baik Pak, tapi biarkan saya berjalan sendiri, adik saya sedang tidur!" Farhan menatap polisi itu tak kalah garang.
_____oooO۩Oooo_____
Palembang 2011
"Lalu?" Bi Atin menunggu lanjutan ceritaku.
"Setelah diperiksa, aku dan Reyhan dibawa ke sebuah panti. Di sana, aku disekolahkan lagi, dan Reyhan dirawat dengan baik oleh Ibu Aisyah. Sampai akhirnya, aku mendapat beasiswa dan bisa menyelesaikan kuliah."
Bi Atin masih terpaku, ia menatapku dengan tatapan hangatnya. Ya, tatapan itu yang aku rindukan. "Alhamdulillah, Bibi sangat senang mendengarnya. Oh ya, kenapa kamu ga ngajak Reyhan. Bibi sudah rindu sekali. Bagaimana rupanya sekarang."
Aku tersenyum, lalu mengeluarkan handphone-ku,
"Ini Bi, ini Rayhan." Seulas senyum mengembang dibibirnya, matanya berkaca-kaca.
"Sudah besar sekali Rayhan sekarang,"
"Iya dong Bi, sudah 18 tahun kita berpisah, semuanya sudah jauh berubah."
"Bi...." Aku menyandarkan kepalaku dipundaknya yang kecil itu,
"Boleh aku bersandar di sini? Seperti dulu yang kulakukan pada almarhum ibu,"
Bi Atin mengelus kepalaku lembut, "Boleh Nak, apalagi yang bisa Bibi lakukan untukmu? Kau sudah berjuang keras selama ini. Bahkan di saat anak seusiamu sepantasnya bermain."
"Aku tidak peduli lagi itu Bi. Bi, maukah Bibi tinggal di Jakarta bersama Rayhan. Aku ada banyak pekerjaan di sini. Aku khawatir meninggalkannya sendiri."
Bi Atin terdiam sebentar. "Tolonglah Bi, temani Rayhan, jaga Rayhan untukku." Suaraku melemah. Kemudian hening, kami sibuk dengan pikiran masing-masing.
_____oooO۩Oooo_____
Angin berhembus pelan, menerbangkan daun-daun kering hingga jatuh dari rantingnya. Tiupannya juga menyapu wajah para calon penumpang yang ada di Bandara Sultan Mahmud Badarudin II. Ada yang sedang bepelukan menghantarkan sanak saudara yang hendak pergi dan ada pula yang berpelukan melepas rindu. Aku dan Bi Atin berjalan menuju boarding pass.
"Nanti Bibi harus gimana?" Bi Atin tampak takut.
"Bibi duduk saja di dalam, nanti setelah semua orang turun ikutlah turun. Ikuti saja jalannya, nanti Rayhan sudah menunggu di Soekarno Hatta, Bibi hanya memegang ini" Aku memberikan sebuah kertas putih bertuliskan, "Bi Atin"
Aku tahu benar, Bi Atin buta huruf, jadi untuk membuat Reyhan mengenalinya, Bi Atin lah yang harus membawa papan namanya, bukan Rayhan.
"Tolong berikan ini pada Reyhan," aku memberikan tas hitam kecil pada Bi Atin.
"Tapi, Bibi takut. Gimana kalau Reyhan ga ketemu sama Bibi." Bi Atin mengerutkan dahinya.
Kreek!
Aku mengambil foto Bi Atin tanpa permisi.
"Foto Bibi, akan kukirim ke Rayhan. Dia pasti menemukan Bibi. Bibi tenang saja."
Kupeluk tubuhnya erat. Ku cium tangannya "Selamat jalan Bi, titip Reyhan ya"
Tanganku melambai-lambai mengucap salam perpisahan. Aku menatap penggung Bi Atin hingga mengecil dan menghilang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bernafas Sejenak
ActionGelombang kehidupan itu relatif, tidak mutlak. Kadang angin membawanya berlari jauh ke tengah samudra. Melebur, bercampur buih-buih lautan yang jumlahnya tak terhingga. Namun kadang angin pulalah yang membawanya kembali ke pantai. Terhempas dengan k...