Cerita 23 - Pedang dan Sihir

104 10 0
                                    

"Aku akan menghabisimu"? Sebenarnya aku ingin tertawa terbahak-bahak mendengar kata-kata klise seperti itu. Tapi sayangnya, kenyataan menunjukkan bahwa aku benar-benar baru saja hampir dihabisi olehnya. Dan kalau dia bilang 'akan', berarti sebenarnya tadi ia 'belum' mencoba menghabisiku?

Aku bahkan masih belum paham apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa orang itu tiba-tiba menyerangku dari belakang? Kenapa dia ingin membunuhku? Kenapa aku? Kenapa harus aku? Aku sama sekali masih tidak mengerti.

Aku coba bersihkan mata kiriku dengan lengan baju, tapi darahnya terus keluar dan kembali menutupi mataku sebelum aku bisa membukanya. Sepertinya lukanya lebih dalam dari yang kuduga, sampai-sampai darahnya tak kunjung henti.

Kalau darahnya terus keluar seperti ini, aku bisa bahaya karena terlalu banyak kehilangan darah. Kulepas bajuku, kugulung dan kuikatkan kencang di keningku seperti ikat kepala agar darahnya berhenti. Lalu aku gunakan kaos dalamku untuk kembali mengelap mata kiriku.

Di saat aku masih sibuk membersihkan mataku, orang yang menyerangku tadi sedikit menunduk dan melompat maju ke arahku.

"Cepat sekali!"

Lompatan orang itu tidak biasa. Hanya dengan sekali lompatan, ia melaju ke arahku dengan kecepatan tinggi. Ia sangat cepat seperti Naruto yang ingin menyerang musuhnya. Aku tak punya banyak waktu. Aku langsung masukkan tanganku ke kantung celana kanan untuk mengambil tongkat sihirku.

"Cih!"

Aku lupa kalau aku meninggalkannya di kamarku karena takut rusak. Segera langsung ku arahkan tanganku ke pinggang sebelah kiriku untuk mengambil pedangku.

Aku langsung mengumpat dengan kata-kata sangat kasar yang mungkin jika ibu kandungku mendengarnya aku bisa dikunci di kamar selama seminggu penuh tanpa boleh keluar sekalipun kecuali makan dan mandi.

Ya, aku mengumpat karena kebodohanku sudah melewati batas.

Aku juga tak membawa pedangku.

Saat ini yang kugantungkan di pinggangku adalah pedang kayu untuk latihan yang dipinjamkan oleh Rahut, penjaga Asrama universitas Bode. Kenapa aku sampai membela-belakan untuk meminjam pedang ini? Karena kupikir di hari pertama akan ada 'tur kampus' atau semacamnya. Jadi kalau kubawa pedangku, dan aku harus berjalan jauh mengelilingi universitas Bode, aku akan cepat kelelahan. Akhirnya tadi pagi kuputuskan untuk meminjam pedang kayu milik Rahut.

Orang itu sudah semakin dekat. Mungkin sudah kurang dari lima meter dari hadapanku. Aku langsung berlari ke kananku untuk menjauh darinya. Tak lupa kubuang pedang milik Rahut itu ke tanah agar tak mengganggu pergerakanku. Orang itu membawa pedang asli. Selain itu, kecepatan dan kekuatannya sudah tak perlu dipertanyakan lagi. Daripada kupaksakan memakai pedang kayu yang tak akan berguna, kuputuskan untuk membuangnya.

Tapi, baru selangkah aku bergerak, aku hampir terjatuh. Aku lupa kalau tubuhku sedang sakit semua. Dan aku juga baru sadar kalau tangan dan kakiku penuh luka dan lecet. Tapi ini bukan saatnya merasakan sakit. Aku harus bisa menahan sakit atau aku akan mati di sini.

Aku paksakan diriku untuk berlari sekuat tenaga.

"Zrrraaaakkkk...!!!"

Aku sedikit melirik ke belakang dan kulihat orang itu menyeretkan kakinya di tanah untuk merubah posisinya agar ia bisa melompat lagi ke arahku.

Jika ia berhenti dan melompat lagi dengan kecepatan seperti tadi, aku tahu aku tak akan bisa lari. Aku harus menyerang balik!

"Wahai penguasa angin terkuat, raja dari semua angin di Venus..."

Kehidupan Kedua (Buku 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang