Cerita 24 - Teman

133 10 0
                                    

Tanggal 4 Bulan 10.

Sudah tiga hari sejak kejadian yang membuatku hampir mati. Ya, untungnya hanya hampir. Aku masih hidup, hanya saja kini di kepalaku terdapat lilitan perban. Karena luka di atas mata kiriku ternyata cukup parah, mata kiriku harus diperban agar aku tidak membuka mataku sampai lukanya sembuh. Meskipun sebenarnya lukanya sudah sembuh karena sihir putih, tapi saraf-sarafnya butuh waktu untuk bisa berfungsi seperti seharusnya. Karena itu, aku harus menutupnya sementara.

Karena kejadian ini juga, kuliahku yang seharusnya dimulai Tanggal 2, harus diundur seminggu. Para dosen dan rektor ingin menyidang orang yang menyerangku dan menyelesaikan masalah ini terlebih dahulu.

...

Orang yang menyerangku beberapa hari yang lalu adalah Felix. Ia adalah orang yang seharusnya menerima beasiswa dari ras Manusia sebelum aku muncul dan mengalahkannya dalam penilaian para dosen. Atau begitulah yang kudengar dari Ivan. Ia juga menceritakan detail kejadian setelah aku kehilangan kesadaran.

Sesaat sebelum aku kehilangan kesadaran, Felix berteriak kencang dan hawa membunuhnya kembali. Hanya itu yang bisa kuingat.

Orang berjubah yang menghampiri Felix adalah Profesor Morgan. Ia mencoba membopong Felix yang sedang kehilangan kesadaran dan tangan kirinya hancur. Tapi sepertinya tidak semulus itu.

Felix sadar dan berteriak kencang sesaat setelah Profesor Morgan mulai mengangkatnya. Ini membuat Profesor Morgan sedikit terkejut. Dan belum sempat ia sadar dari rasa terkejutnya, Felix sudah kembali melompat ke arahku.

Ivan dan Bardam langsung berdiri di hadapan Felix untuk menghadangnya. Ivan sudah mengambil ancang-ancang untuk menendang dan Bardam sudah mengeker kedua senapannya.

"BERHENTI! DIA MASIH TAK SADARKAN DIRI!"

Profesor Morgan yang sudah berada di atas Felix karena melompat dengan kecepatan yang lebih tinggi darinya berteriak menghentikan Ivan dan Bardam. Ia bersiap untuk meniban tubuh Felix dari atas agar ia berhenti.

Di saat yang sama, Profesor Blaise, seorang Elf pria yang aku pun masih tak tahu penampakannya seperti apa, datang dan berdiri di depan Ivan dan Bardam untuk menghadang Felix juga.

Profesor Blaise menahan kedua bahu Felix untuk mengurangi kecepatannya, sedangkan Profesor Morgan menginjaknya dari atas untuk menjatuhkannya. Sampai harus dua orang profesor yang turun tangan langsung, aku rasa ia memang bukanlah orang yang patut untuk diremehkan. Lagipula, kini tubuhku penuh luka pun karena dia. Meskipun aku juga penerima beasiswa, tapi aku sendiri merasa kemampuannya jauh melebihiku.

Mendengar cerita Ivan ini, aku pun jadi bingung. Kenapa aku? Kalau memang ada Manusia sekuat Felix, kenapa bukan dia yang menjadi penerima beasiswanya? Sejujurnya kejadian ini benar-benar membuatku tak percaya diri. Apakah aku benar-benar akan bisa bertahan di sini? Terutama dengan statusku sebagai penerima beasiswa.

Oh ya, satu lagi. Orang yang menyembuhkanku dengan sihir putih ialah Profesor Amata. Ia seorang Elf wanita yang seperti Profesor Morgan, penyihir putih yang sudah menguasai sihir tingkat atas.

...

Awalnya aku di rawat di ruang kesehatan Universitas Bode. Tapi karena aku sudah disembuhkan oleh Profesor Amata, dan lukaku yang parah hanyalah keningku dan tidak akan begitu mengganggu aktivitasku (kecuali melihat dengan mata kiri), aku boleh pulang ke kamarku keesokan harinya.

Aku keluar dari kamar dan turun ke bawah. Kulihat banyak orang yang sedang bersenda gurau di lapangan maupun di taman depan. Sebenarnya aku ingin berlatih sihir sambil menghabiskan waktu hari ini, tapi sepertinya taman dan lapangannya terlalu ramai. Aku rasa aku tak akan bisa berkonsentrasi di sana.

Kehidupan Kedua (Buku 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang