Chapter 28

7.4K 507 29
                                    

Setting Tahun Ketujuh Harry Potter...

Dua hari sebelum perang

Harry menatap nanar pemandangan di bawah sana. Masih sama seperti kemarin dan kemarin - kemarinnya lagi. Pepohonan masih berwarna hijau. Langit masih berwarna biru saat siang dan gelap saat malam. Hutan terlarang masih terasa seram dan menakutkan. Danau hitam masih berwarna hitam dengan tingkat kedalamannya yang misterius. Kastil Hogwarts masih berdiri kokoh. Dan, Pohon Dedalu masih perkasa seperti biasanya. Tapi, akankan semuanya akan tetap sama usai perang nanti?

Harry menghembuskan nafasnya ke atas kaca jendela membentuk pulau-pulau kecil berwarna putih keruh di atas permukaannya. Pikirannya kalut, cemas akan nasib para makhluk hidup yang menghuni tanah sekitar Hogwarts. Akankah Voldemort membiarkan yang tak bersalah tetap hidup seperti para duyung penghuni danau hitam, unicorn dan centaurus di hutan terlarang, atau para laba-laba mantan peliharaan Hagrid? Harry tak tahu jawabannya. Harry hanya bisa berharap kegilaan Voldemort berhenti hanya pada penyihir Muggleborn, penyihir berdarah pengkhianat, dan para penentangnya.

Harry tidak akan bertanya bagaimana nasib para penyihir yang masih menghuni kastil Hogwarts. Nasib mereka sudah diputuskan semenjak mereka memilih bertahan. Mereka dijamin mati. Pertanyaan pentingnya adalah bagaimana cara mereka mati? Apa mereka akan mati mudah dengan kutukan Avada Kedavra, atau disiksa terlebih dahulu dengan kutukan Cruciatus? Apa mereka akan disekap bersama para Dementor hingga mereka tinggal tubuh tanpa jiwa ataukah langsung diberi kecupan? Apa mereka dibiarkan langsung mati atau dijadikan santapan manusia serigala dalam kondisi masih hidup? Harry juga tak tahu. Apapun itu, semoga saja mereka mati dengan gagah dalam pertempuran.

Harry sibuk bergulat dengan pemikirannya sendiri ketika sepasang lengan memeluk pinggangnya erat dari belakang. Harry tidak perlu menoleh untuk mengetahui siapa pelakunya. Baunya sudah menunjukkan orangnya. "Drake," sapa Harry lirih, sambil menangkupkan tangannya di atas kedua tangan Draco yang masih setia memeluknya. Sebuah senyuman muncul di wajah manisnya.

Draco mengecup pelipis Harry lembut dan berkata, "Apa yang kau pikirkan, Love?"

Harry menghela nafas, lagi. "Perang," sahutnya.

Draco mengeratkan pelukannya. "Apa kau takut?"

"Ya," desah Harry. "Aku takut jika kita kalah. Mereka tidak akan mengampuni..." Bibir Harry bergetar saat mengucapkannya. "...kita."

"Dan, bagaimana jika kita menang?" tanya Draco dengan suara yang tenang. "Semua pilihan kita ada konsekuensinya, Harry. Bisa menang bisa kalah. Bisa berhasil bisa gagal. Dsb. Tapi, jika kau bertanya pada mereka...," Draco memberi isyarat pada para penyihir yang masih berdatangan hingga detik ini, untuk membantu Hogwarts. "Mereka akan tetap memberi jawaban yang sama. Karena, tak ada yang lebih buruk dari hidup dalam cekaman terror. Sudah cukup lama mereka hidup dalam kengerian dan mereka tak mau mengalami masa itu lagi. Itu sebabnya mereka memilih ikut berperang."

Harry tercekat. Emeraldnya tampak keruh. "Aku..." Ia menggigit bibirnya tidak yakin. "Ku pikir..."

"Kau pikir kau penyebab semua ini?" tanya Draco tepat sasaran. "Kau salah, Love. Semua ini sudah takdir. Tidak ada kebaikan tanpa kejahatan yang mengiringinya. Tak ada pahlawan tanpa penjahat yang dilawannya. Meski Voldemort berhasil kau tarik dalam cahaya, akan ada yang menggantikannya. Karena ini adalah perang ideologi. Ini sudah takdir, Harry."

Harry menundukkan kepalanya, menyembunyikan kesedihannya. "Aku tahu kau benar," sahut Harry lirih. "Tapi, aku tetap takut, Drake."

Draco membuai Harry. "Aku tahu. Aku tahu, Love." ulangnya. "Aku janji, apapun yang terjadi aku akan selalu menemanimu. Karena, kau mateku dan cahaya hidupku." Katanya dengan suara yang lembut, selembut sutra.

MATE SERAPHIM (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang