Chapter 23

7.7K 620 129
                                    

Setting Tahun Keenam Harry Potter...

"Kau..!" pekik Harry dengan mata yang membulat sempurna di balik kaca mata tebalnya. "Ba-bagaimana bisa kau berada di sini? Kau seorang penyihir?" tanya Harry dalam satu helaan nafas.

"Menurutmu?" Jawabnya ambigu. Mata crimsonnya membiaskan binar geli.

Pipi Harry yang semula seputih susu kini ternoda oleh rona merah. Ia merasa malu karena kebodohannya. Sungguh pertanyaan yang tolol. Semua penyihir di seantero Britania Raya ini tahu, jika Hogsmeade adalah desa khusus penyihir. Otomatis pengunjungnya juga penyihir semua. So, buat apa lagi ia bertanya 'Apa kau seorang penyihir?'

Wajah Harry semakin memerah ketika telinganya menangkap kikikan kecil dari lawan bicaranya. Ia tidak bisa merasa lebih malu lagi. Dua kali ia bertingkah konyol di depan seorang pria dewasa yang sepertinya punya status penting ini. Ukh, malunya tak tertahankan. Harry jadi tergoda untuk menggali lubang yang dalam di tempat itu, lalu masuk ke dalamnya. Dan, tak keluar lagi untuk selamanya.

'Ukh, apa yang ku katakan tadi? Kenapa aku mengatakan sesuatu yang bodoh seperti itu?' keluh Harry dalam hati. 'Dia sekarang pasti berfikir kalau aku ini penyihir bodoh berotak udang. Hanya mengandalkan keberuntungan dan nama tenar,' pikir Harry muram. 'Persis seperti yang selalu diingatkan Snape dengan murah hatinya di setiap kelas-nya,' tambahnya dalam hati.

Harry mencuri-curi pandang pada pria dewasa di depannya. Ia memperhatikan detail-detail fisiknya, dari kaki jenjangnya, dadanya yang bidang, dan tubuhnya yang tegap atletis. Pandangannya merambat ke atas pada wajahnya yang rupawan, dari rahangnya yang kokoh, bibirnya yang kissable, hidung mancungnya, matanya yang berkilat misterius nan menggoda, hingga kedua alisnya yang terpahat rapi. Segala hal tentangnya, bisa Harry katakan perfect tanpa cacat. Harry mengkategorikannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan yang paling WOW.

"Well, bagaimana kalau kita mencari tempat berbincang yang nyaman? Berbincang sambil berdiri itu kesannya kurang sopan. Bukan begitu Harry?" kata pria itu sopan.

"Hm," gumam Harry tidak jelas. Ia masih sibuk menilai dan mengagumi pria itu.

"Bagaimana kalau kita duduk di bangku di bawah pohon oak itu? Kau tak keberatan kan duduk di tempat terbuka?" katanya dengan anggun, menawarkan diri.

'Dia pasti penyihir yang terlahir dari keluarga bangsawan yang sudah ditatar sejak kecil mengenai attitude?' pikir Harry menilai pria itu. Pria itu bisa terlihat elegan, menawan, dan gagah meskipun dengan posisi tubuh yang bagi orang lain biasa saja. 'Kapan ya aku bisa seperti dia?' pikirnya iri.

"Harry, apa kau mendengarku?" tanya pria itu dengan sebelah alis terangkat, bingung dengan sikap diam Harry.

'Tuh, lihat! Bahkan gaya herannya pun keren.' Batinnya digerogoti perasaan iri.

"Harry? Hei, apa kau mendengarku?" tanya pria itu dengan raut cemas.

'Apa aku minta Sirius untuk mengajariku attitude seorang bangsawan saja, ya? Ia kan juga bangsawan,' pikirnya. 'Tapi, kami kan sedang bermusuhan?' Suara hatinya yang lain membantah. Harry tersenyum sedih, teringat pertengkarannya dengan walinya yang tersayang.

'Ia pasti marah sekali padaku karena itu ia... ia tak mau membalas suratku. Satu pun tak ada,' pikirnya muram. Harry menundukkan kepalanya, menyembunyikan kesedihan yang terpantul pada emeraldnya.

Harry menghela nafas berat. Ia berharap memiliki jam yang sama seperti yang dimiliki Hermione dulu, agar ia bisa memutar waktu kembali. Ia janji, jika ia bisa kembali ke masa sebelum mereka bertengkar hebat, ia tak akan pernah mengatakan hal-hal buruk seperti kata menjijikkan atau kalimat tak mau kenal lagi pada mereka. 'Itu buruk. Sangat buruk,' pikir Harry penuh sesal.

MATE SERAPHIM (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang