5
"Felly!"Pekikan yang sangat familiar di telinganya membuatnya menghentikan langkah dan segera berbalik.
Hari ini, Felly memutuskan untuk masuk sekolah. Mengingat kemarin dirinya lama berada di UKS sekolah. Pasti banyak pelajaran yang tertinggal.
"Sudah sembuh? Kok sudah masuk sekolah?" Tanya Mira tepat setelah berada di depannya.
Anggukan singkat dari Felly membuat Mira mendesah pelan. "Kalau masih sakit, sebaiknya jangan masuk dulu."
"Sudah sembuh. Lagian kemarin hanya pusing saja." Mira mengangguk menanggapi jawaban Felly.
"Dia sudah minta maaf padamu, 'kan?"
Pertanyaan Mira membuatnya mengernyit bingung. "Minta maaf? Siapa maksudmu?"
"Devon."
Devon? Felly mengulangnya dalam hati. Untuk apa Devon minta maaf padanya.
"Memangnya kenapa dia harus minta maaf?"
Entah hanya firasatnya saja atau apa. Tapi setelah menanyakan itu, Mira nampak terkejut dan mengerjap. "Kau tidak tahu?"
Felly menggeleng pelan. Karena memang ia tidak tahu.
"Jadi benar dia belum minta maaf!" Pekiknya sambil mencengkram bahu Felly.
Felly menjauhkan tangan Mira dari pundaknya sambil menatapnya bingung. "Apa sih maksudmu?"
Terdengar helaan nafas berat darinya. Mira menatapnya nanar. "Kau kemarin pingsan itu karena Devon."
Kernyitan di kening Felly makin dalam. "Devon yang melempar bola itu. Dan... kena kepalamu."
Setelah kalimat Mira selesai. Barulah Felly mengerti. Ia lantas mengerjap cepat. "Jadi karena Devon?"
Sebuah anggukan mantap dari Mira membuatnya menghela nafas.
Sebenarnya ia tidak mengharapkan kata 'maaf' dari Devon. Toh, kemarin pria itu sudah menolongnya. Juga menungguinya sampai siuman.
Justru dirinya-lah yang harusnya berterima kasih pada pria itu.
"Kau tahu Felly, saat kau pingsan kemarin... Devon sangat mengkhawatirkanmu."
Sontak saja Felly langsung mengalihkan perhatiannya pada Mira. Matanya membulat sempurna. "Tidak mungkin."
"Benar," Mira menegaskan ucapannya. "Kami lihat sendiri kemarin."
"Kami?" Mira mengangguk antusias. "Ya. Aku, Arvam, dan Shion."
Felly menganga mendengarnya. "Kalian sekongkol?"
Pertanyaannya itu dibalas dengan cengiran khas sahabatnya itu. "Sebenarnya kami kemarin sempat menemani Devon di UKS."
Felly makin menganga.
"Devon kelihatan mencemaskanmu. Saat bel pulang sekolah, Devon bilang biar dia saja yang menjagamu. Dia juga bilang akan antar kau pulang kalau sudah sadar."
Felly tergugu dibuatnya. Benarkah Devon seperti itu. Tapi kenapa kemarin sikapnya dingin sekali. Aneh memang pria satu itu.
Sudahlah. Entah benar atau tidak. Ia tidak ingin mempersalahkannya.
***
Suasana kelas sedang hening. Semua mata memperhatikan whiteboard di depan mereka.
"Baiklah, ada yang bisa mengerjakan soal ini?" Tanya seorang Guru pria yang berusia sekitar akhir 30-an.
Spidol di tangannya digunakan untuk menunjuk soal yang baru saja di tulisnya di whiteboard itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Vanquished His Heart
Teen FictionAku menyukainya. Walau kusadar sikapnya selalu dingin dan acuh padaku. Mengapa dia begitu sulit untuk diraih? Dia seperti membangun sebuah dinding kokoh. Seolah tak seorangpun dia biarkan untuk mendekatinya. Tapi sekarang aku tahu. Alasan dibalik si...