Dua puluh menit kemudian, aku menemukan diriku duduk di kursi penumpang berdampingan dengan seorang pria asing. Pria asing yang akhirnya kuketahui bernama Han Bi, dan adiknya Han Na, gadis yang memaksa menawarkan bantuan padaku. Han Na duduk di samping kursi kemudi, yang sejak tadi berceloteh tentang keinginannya menjadi seorang penyanyi. Han Na ingin menjadi salah satu penyanyi terkenal di bawah naungan industri musik favoritnya. Industri musik yang banyak mendebutkan penyanyi terkenal di Korea Selatan. Dia sangat mencintai dunia KPop, mengagumi Rain, Super Junior, 2PM, SNSD, Davichi, hingga Yoon Mi Rae. Dia bahkan menghafal setiap lirik lagu yang dinyanyikan penyanyi favoritnya itu padaku. Dia gadis yang sangat ceria.
Aku bukan seseorang yang mudah berbaur dengan orang asing. Dengan Han Na, aku seperti memiliki adik perempuan sendiri. Dengan Han Bi, aku tidak ingin tahu tentang pria itu. Aku masih kesal padanya. Dia nyaris membuatku menjerit begitu ia ingin melancarkan niatnya menggendongku ke mobilnya. Sementara aku masih terlalu kaget untuk mencerna kata-katanya tadi. Meski tidak bisa dipungkiri, jika perempuan lain berada di posisiku, mereka akan suka rela menawarkan dirinya ke pelukan Han Bi. Kuakui, Han Bi layak dipertimbangkan sebagai pasangan. Dia cukup tampan, tinggi, atletis, dan sepertinya cukup mapan. Kriteria umum bagi setiap wanita di dunia ini.
Tak lama kemudian, mobil yang membawa kami berhenti tepat di depan apartemen yang kusebutkan pada sopir. Han Na sedang sibuk mengotak-atik ponselnya begitu aku pamit padanya. Dia berjanji jika kami bertemu lagi, dia akan mengajakku ke studio rekamannya. Han Bi ikut turun dari mobil, menyusulku.
"Saya hanya merasa saya harus minta maaf," ucapnya.
Aku menggeleng. "Bukan masalah," kataku.
Dia menatap ke sekeliling kami. Dia menengadah ke atas langit. Dia menatap sepatunya. Dia menatap lampu jalan di samping mobil. Dia menatap apa pun yang tertangkap oleh matanya selain menatapku.
"Ng... Deema-ssi..."
Dia ingin mengatakan sesuatu tapi batal di detik terakhir dia akhirnya menatapku. Aku tidak pernah merasakan hal aneh ketika seseorang menatapku. Han Bi memiliki tatapan yang cukup dalam. Tatapannya lurus ke manik mata. Tapi terlihat ragu.
Aku merapatkan jaket, menghalau dingin yang menusuk tulang. Sekaligus menyembunyikan kegugupan yang tiba-tiba ini.
"Anda ingin mengatakan sesuatu Han Bi-ssi?" tanyaku akhirnya. Jelas-jelas dia ingin mengatakan sesuatu padaku.
Dia berdeham. "Tidak ada. Maaf sudah mengganggu malam Anda. Selamat malam!"
Han Bi membuka pintu mobil dan masuk. Aku masih terperangah di tempatku berdiri begitu mobil yang membawa mereka menghilang di kelokan.
---
Whats your happy ending moment?
Bahkan ketika aku membuka mata pagi ini, pertanyaan itu masih terlintas di pikiranku. Ketika mengajukan pertanyaan itu pada Hye Sun, aku merasakan puluhan truk raksasa menggilas habis diriku. Bukan sesuatu yang mudah melupakan seseorang yang bahkan meski kubunuh berkali-kali di dalam hatiku ini, debar di jantungku masih mendetakkan namanya. Aku bukan hanya mencintainya. Aku pernah menggilainya.
Mungkin ini terdengar tolol. Aku masih mencintainya meski aku tahu dia tidak lagi mencintaiku. Aku masih mencintainya bahkan ketika luka yang dia goreskan masih terasa perih. Aku ingin membunuh dia di kepalaku, di hatiku, bahkan menghentikan namanya di detak jantungku.
Bukan menandai sejarah kami dengan hujan.
Seperti biasa saudara-saudara, Seoul diguyur hujan lagi pagi ini.
Kepalaku terasa berat. Aku bergegas bangkit dari ranjang setelah mengumpulkan nyawa dan menghapus dia di kepala ini. Aku menyalakan teve. Seorang presenter pria sedang membacakan prakiraan cuaca hari ini. Aku berjalan menuju dapur, masih sambil mendengarkan si presenter. Suara si presenter terdengar tidak asing bagiku. Aku kembali dengan minuman di tangan dan duduk di depan sofa. Si presenter masih di sana, mengenakan celana khaki, serta kemeja putih berlengan pendek. Rambutnya disisir rapi ke belakang. Dia tersenyum setiap kali menjelaskan sesuatu yang entah apa. Karena aku sudah tidak fokus lagi dengan apa yang kudengar. Melainkan fokus utamaku jatuh pada pria yang sedang tersenyum itu. Han Bi.
Tanpa sadar aku tersenyum.
Han Bi yang kutemui malam tadi sungguh berbeda jauh dari Han Bi si presenter pagi ini. Sikapnya luwes, santai, dan apa adanya. Han Bi yang kutemui malam tadi sedikit canggung dan hati-hati. Aku tidak tahu mengapa aku harus menilai seorang pria seperti Han Bi yang sama sekali tidak kukenal baik ini.
Han Bi menutup sesinya dengan membungkukkan punggung dan berpamitan. Aku merasa tidak terima begitu siaran itu berakhir. Aku menarik napas panjang, mengganti siaran lain, lalu merebahkan diri di sofa. Hari ini aku tidak akan ke mana-mana. Hujan di luar sana tidak akan membuat suasana hatiku membaik. Aku hanya berharap, hujan segera berakhir. Dengan kembali mempertanyakan, akhir bahagia seperti apa yang kuinginkan.
———
to be continue...
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan di Matamu | (Completed)
Short StoryMungkin ini terdengar tolol. Aku masih mencintainya meski aku tahu dia tidak lagi mencintaiku. Aku masih mencintainya bahkan ketika luka yang dia goreskan masih terasa perih. Aku ingin membunuh dia di kepalaku, di hatiku, bahkan menghentikan namanya...