HdM [4]

1.3K 134 10
                                    

Menghabiskan sebagian besar waktuku di apartemen Hye Sun sedikit membuat keadaan hatiku membaik. Hari ketiga setiba aku di Seoul, yang kulakukan hanya tidur dan makan ramen. Hye Sun sudah mengingatkan bahwa sebaiknya aku harus keluar, belanja, jalan-jalan, wisata kuliner selain makan ramen, apa pun yang bisa membuatku senang dan lupa bahwa aku sedang berduka. Berduka, heh? Aku tersenyum miris memikirkan kata-kata itu.

Aku memaksa diri untuk bangun, meraih remote untuk mematikan teve yang ternyata sudah menontonku tidur selama beberapa jam lalu. Mentari sudah merangkak naik begitu aku membuka mata siang ini. Hujan pagi tadi sudah mereda, meski masih meninggalkan tetes-tetes air di jendela.

Aku meringis merasakan perutku bergolak karena lapar. Baru saja aku ingin melangkah ke dapur untuk memasak ramen, aku teringat mungkin sebaiknya aku mengikuti saran Hye Sun. Aku akhirnya memutuskan untuk ke kamar, mandi dan berpakaian, kemudian menuju restoran terdekat yang menyediakan makanan halal yang sering kukunjungi bersama Hye Sun dulu.

Restoran itu terletak di jantung distrik Gangnam. Restoran yang menyajikan berbagai makanan dengan menu ala vegetarian yang lezat. Dulu aku sering kesulitan menemukan makanan halal di daerah ini selain di Itaewon yang merupakan daerah yang memiliki Masjid Pusat Seoul atau orang-orang di sini menyebutnya Seoul Central Mosque yang pertama dan satu-satunya di Korea. Di sana aku tidak perlu khawatir tentang makanan apa yang harus kumakan. Ada banyak restoran muslim seperti India, Pakistan, Arab, bahkan Turki. Yang pastinya menyajikan makanan halal dan lezat.

Di Gangnam sendiri aku menemukan restoran ini berkat Hye Sun. Letaknya tidak terlalu jauh dari apartemennya. Dengan konsep prasmanan yang lezat, aku langsung menyukai tempat ini. Suasananya terkesan homey dan cukup tenang. Aku memesan sup dan berbagai lauk pauk segar. Harganya juga cukup terjangkau isi dompet. Bagi orang-orang di sini, apalagi di kawasan elit seperti di Gangnam ini, uang bukan masalah bagi mereka.

Setelah makan aku memesan kopi dan membiarkan rasa pahit memenuhi kerongkonganku. Sebenarnya aku tidak suka kopi, tapi entah kenapa aku memesannya juga. Kopi pesananku datang ketika ponsel di dalam saku jaketku yang kuletakkan di dekat meja bergetar.

Nama Hye Sun terpampang di layar dan aku segera menekan tombol jawab.

"Halo?" sapaku.

Suara Hye Sun seperti terdengar lega mendengar suaraku.

"Akhirnya aku mendengar suaramu." Aku merasakan Hye Sun tersenyum di ujung sana.

"Aku baik-baik saja," kataku.

"Aku menghubungi nomor telepon apartemen, tapi kamu tidak menjawabnya."

"Oh, itu, aku sedang di luar." Aku sedikit merasa bersalah karena tidak memberitahu Hye Sun lebih dulu, bahwa aku akan keluar dan lupa membersihkan apartemennya sesuai janjiku selama dia tidak ada. "Maafkan aku, tapi aku lupa membersihkan apartemenmu, " akuku padanya.

"Oh, tentu saja. Kamu punya tanggung-jawab untuk itu. Tapi, aku lebih suka kamu tidak melakukan hal-hal yang tidak penting selama liburan di Seoul."

Aku menggeleng meski tahu Hye Sun tidak akan melihat. "Aku melakukan hal-hal penting selama tiga hari di sini," bantahku.

"Dengan tidur sepanjang hari dan menghabiskan stok ramenku?"

Aku mendengar ejekan sekaligus tawa di ujung sana. "Ya, tidur adalah hal penting yang tidak pernah kudapatkan di Jakarta. Dan soal ramenmu, aku akan menggantinya. Setelah ini aku akan ke supermarket dan berbelanja."

Sahabatku itu menghentikan tawanya. "Ya Tuhan, Dee... di daerah yang terkenal dengan Beverly Hills -nya Korea, yang tidak pernah tidur ini, kamu malah menghabiskan waktumu untuk tidur?" Kudengar Hye Sun mendesah. "Dan jangan pernah makan ramen lagi. Jangan beli itu!"

Hujan di Matamu | (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang