BAB 4 - Terbentuknya 'Joppy'

5 0 0
                                    

"Heh? Sejak kapan aku menyimpan kontak nomornya?"

"Siapa itu yang mengirimkan pesan, Ahmad?"

"Tidak. Bukan siapa-siapa."

Yang benar saja. Dalam riwayat hidupku aku belum pernah sama sekali menyimpan nomor kontak milik orang lain selain nomor orang tuaku. Tapi ini! Apakah ini mimpi?
Di layar smartphoneku tertulis nama Hendra. Dia menulis pesan yang bertujuan untuk mengajak keluar.

"Ahoy Ahmad. Hari ini apakah kau sibuk? Jika tidak bisakah kau keluar dengan kami? Kami mau membicarakan hal menarik di depan Cafe Bonjour."

Terlihat pesan yang begitu singkat dan padat. Aku berkeinginan untuk membalas pesan tersebut dengan isi yang biasa aku katakan pada orang lain 'Maaf, aku sibuk.'. Tetapi kenyataannya aku tidak sempat menulis balasan tersebut. Aku dikejutkan dengan posisi ibu yang dari tadi melihat pesan ini dari belakangku. Ditambah lagi ibu menyeringai lebar.

"Jadi kau akan pergi, huh?"

"Ibu!"

"Bukankah itu bagus? Kau akan pergi ke suatu tempat dengan teman-teman satu kelasmu. Kau tidak akan kesepian lagi."

Mataku saat itu terbelalak karena perilaku ibu yang mengejutkanku.

"Tidak. Aku bahkan sudah merasa tenang saat aku di rumah. Ibu jangan coba-coba menyuruhku seperti itu."

"Apa maksudmu. Sebagai anak bukankah seharusnya kau membuat hati seorang ibu menjadi senang. Hm?"

"Sudah aku bilang aku tidak mau!"

"Grep..!!"

Tiba-tiba saja tangan ibu langsung menyergap kerah bajuku yang berada di bagian belakang lalu menyeretku ke luar rumah.

"Tenang saja mereka pasti anak-anak baik. Ibu juga akan menambah uang sakumu untuk hari ini. Tenang saja."

"Tapi uangku juga masih banyak. Ibu tidak perlu melakukan itu."

Sesampainya di depan pintu rumah ibu lantas membuka pintu tersebut dan melemparku layaknya kucing yang diusir dari rumah.

"Thug!"

"Auch!"

Ibu juga melempar smartphoneku hingga mengenai kepala bagian belakang. Hal tersebut membuatku jatuh tersungkur. Segera aku bangun dan mendobrak pintu karena kesal.

"Jdoorr.. Jdoorr.."

Tak berhasil ku coba memutar pegangan pengait pintu yang biasa untuk membuka pintu.

"Cklik.. cklik.."

"Tidak bisa dibuka. Jangan-jangan!"

Aku berteriak sekuat tenaga karena tidak terima dengan semua ini.

"Ibu! Aku mohon buka pintunya."

Ibu juga melakukan hal yang sama denganku. Dengan berteriak di dalam rumah ibu menjawab.

"Maaf ibu juga tidak bisa membukanya."

Suasana di sini menjadi heboh. Aku dan ibu saling berteriak. Membuat tetangga sebelah rumahku menjadi terganggu dengan perilaku kami.

"Ayolah, jangan bercanda!"

"Tapi ibu serius."

"Tapi ibu."

"Apa?"

"Aku tidak tahan dengan panas matahari."

"Kalau begitu belilah tabir surya."

"Tapi aku tak punya uang."

"Sluut.."

Kemudian di balik pintu tersebut ibu menyelipkan uang di bawah pintu yang memiliki nominal Rp 50.000.

Hello, Single!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang