Memori Masa Lalu

103 49 83
                                    

Mengubur masa lalu memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Namun apakah kita harus menatap ke belakang? ketika jalan yang ada di depan kita sudah terbuka lebar untuk dilalui. - Riko

---play music---

Gadis itu tergesa-gesa memasuki kelasnya.

Baru saja ia meletakkan tas di kursi pilihannya, bel tanda mulai masa orientasi siswa telah berbunyi nyaring.

Suara langkah kaki yang terdengar menggema di sepanjang koridor berhasil mengusik indera pendengarannya.

Di bangku nomor dua dari depan ini, ia duduk dengan seorang gadis yang sejak tadi tak menoleh sedikitpun dari novel yang sedang dibacanya. Pintu kelas berderit pelan, tiga pendamping kelas memasuki kelas yang ditempatinya.

"Hai semua," sapa pendamping kelas itu ramah kepada mereka semua yang duduk di kelas itu. Senyum di wajah mereka bertiga menunjukkan sikap yang terbuka dan ramah.

Dua laki-laki dan satu perempuan itulah yang akan mengampu kelas gadis yang lebih sering disapa dengan nama Irene tersebut.

Acara perkenalanpun dimulai. Masing-masing dari mereka menyebutkan nama lengkap dan panggilan sehari-harinya. Sebagian dari mereka malu-malu dalam memperkenalkan diri, namun juga banyak yang malah kelewat pede ketika memperkenalkan diri. Setelah mereka semua mengetahui nama teman sekelasnya, barulah para pendamping kelas tersebut ikut memperkenalkan diri.

Gadis itupun mengetahui bahwa pembina kelas yang memiliki badan putih dan atletis itu bernama Agas, yang memiliki kulit sawo matang bernama Fauzi, dan yang perempuan bernama Sheryl.

Lagi-lagi pintu kelas berderit. Ketiga pembina kelas itu segera membetuk barisan di pojok kelas.

Tiba-tiba masuklah tiga kakak kelas bertampang judes dengan badan tegap seperti singa yang kelaparan dan hendak mencari mangsa. Pandang mereka berkeliling memperhatikan satu persatu anak di kelas itu.

Entah mengapa, di antara ketiga kakak kelas itu ada satu sosok laki-laki yang selalu mencuri perhatian Irene terus-menerus semenjak kedatangannya di kelas itu. Dari jas seragam yang dikenakannya, ia dapat mengetahui namanya, yaitu Bima.

Muka judes yang ditampilkan seolah tak menjadi pengahalan bagi Irene untuk terus memperhatikannya. Manik matanya mengikuti kemanapun pergerakan sosok itu.

Ia sendiri merasa heran, mengapa ia bisa begitu memperhatikan sosok itu, ia seperti merasa ada yang lain dalam dirinya ketika melihat sosok itu. Pandangannya, tingkah lakunya, dan gaya bicaranya seolah membuatnya merasa dejavu.

Tiba-tiba rasa rindu menyeruak dalam hatinya. Kerinduan akan sosok kakaknya yang sudah lama musnah kini muncul kembali. Walaupun baru melihatnya sebentar saja, namun ia sudah merasakan perasaan nyaman yang tak terkira saat melihat sosok yang bernama Bima itu. Ia seolah-olah membayangkan Bima adalah kakaknya yang harus pergi karenanya.

Tak terasa air mata gadis itu menetes sedikit demi sedikit. Kenangan itu masih menyisakan luka yang begitu dalam dan belum sepenuhnya hilang dari ingatannya. Trauma yang telah dialaminya benar-benar masih berlanjut hingga saat ini, sekuat apapun ia menguburnya. Seluruh perasaan bersalah dan menyesal serta menyalahkan takdir terus bercampur dalam benak gadis itu. Air matanya tak bisa ia hentikan, bahkan kini sudah membentuk sungai di pipinya.

"Irene Arista Wijaya!" suara bentakan dengan nada keras itu membuyarkan semua lamunannya.

Dihapusnya air mata yang sempat mengalir itu dengan pungung tangannya secepat yang ia bisa. Dalam hatinya, ia sangat takut harus berurusan dengan kakak kelas.

Heart? This Time!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang