Tak Direncanakan

71 21 28
                                    

Dendam hanya akan membunuhmu secara perlahan dan menguburmu dalam kegelapan. Hapuskan dendammu dan yakinlah bahwa akan ada hadiah indah dibalik perlakuannya terhadapmu - Feby

"Huft, gue bosen banget disini," guman Irene lirih sembari memandang ke sekeliling ruangan unit kesehatan sekolah itu.

Pandangan matanya masih memutari ruangan itu dengan teliti seperti mencari hal yang dapat membuatnya merasa sedikit terhibur.

Suara kipas angin yang berada di atasnya seolah menggusiknya yang berfikir akan memilih untuk tidur terlelap. Namun, jika kipas angin itu ia matikan, maka ia bisa mati kehabisan nafas di tempat itu karena rasa panas yang menyergapnya.

Irene duduk di pinggir tempat tidur dan mencoba untuk beranjak berdiri. Ringisan terlihat di wajahnya kala kepalanya merasakan sakit akibat tingkah yang ia lakukan.

Sepi dan kosong, itulah yang ia lihat ketika berkeliling ruang unit kesehatan sekolah yang sedikit luas dan dipenuhi sekat ini.

Irene berfikir bagaimana caranya untuk membunuh rasa bosan di hatinya. Karena ia merasa tak tahu lagi harus melakukan apa di tempat itu,  akhirnya iapun memutuskan untuk kembali ke kelasnya.

Irene telah berada di koridor sekolah saat ini. Pandangannya menatap bingung kepada seluruh bagian sekolah itu. Ia tak mengenali tempatnya berdiri saat ini.

Semenjak tadi ia melangkahkan kaki keluar dari ruangan serba putih itu,  ia sama sekali belum menemukan orang yang dapat ditanyainya mengenai arah menuju ke kelasnya.

"Gue harus muterin taman ini berapa kali lagi?" keluhnya dengan rasa kesal. Kakinya menghentak-hentak ke lantai dengan keras.

Mungkin bila ada orang yang melihatnya, ia sudah seperti orang yang sedang kehilangan arah saat ini. Ia merasa dirinya sangatlah buta jadwal dan juga buta lingkungan sekolah.

Andai saja ia membawa denah sekolahnya saat ini, ia pasti akan dapat menemukan kelasnya dengan cepat.

"Kalau bukan gara-gara kakak kelas  cowo itu, gue nggak mungkin kaya gini," dengus Irene sebal. Ia merasa semua kejadian sialnya hari itu adalah pengaruh dari kakak kelasnya yang bernama Bima.

Namun tiba-tiba saja bibir Irene terangkat. Senyum manis mengembang di bibirnya. Membayangkan kakak kelasnya tadi membuatnya teringat akan perlakuan kakak kelasnya itu saat di unit kesehatan sekolah. Pipi Irene kembali memunculkan rona merah.

"Gue nggak boleh baper sama dia," ujar Irene dalam hati dengan rona merah yang masih belum hilang dari pipinya.

Bagaikan kebetulan yang telah direncanakan, dua orang gadis yang diperkirakan seangkatan dengannya melewatinya dengan pandangan aneh sembari berbisik-bisik. Irene yang merasa ditatap kemudian ikut menatap kedua gadis itu.

"Eh, tunggu!" panggil Irene saat sadar bahwa dua gadis itu mulai berjalan menjauh darinya. Ia sangat berharap kedua gadis itu tahu arah jalan yang dapat menggantarkannya ke kelasnya karena ia benar-benar buta jadwal saat ini.

Namun, ternyata dua gadis ini bukannya menoleh dan menghampiri dirinya justru mereka semakin mempercepat langkah dan menghilang di balik pintu toilet ujung tepat di ujung koridor itu.

Irene mendengus kesal. Ia memeriksa kembali seluruh bagian tubuhnya dan bajunya untuk memastikan apa yang salah dari dirinya saat ini.

Tiba-tiba saja ia sebuah pemikiran terlintas di otaknya, pantas saja dua gadis itu takut padanya, saat dua gadis itu sedang lewat tadi ia sedang senyum-senyum tanpa alasan disertai dengan pipi yang merona merah karena menginggat sosok Bima.

Heart? This Time!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang