Hati Yang Tercabik

92 45 39
                                    

Andai aku boleh memutar waktu, aku sangat ingin melakukannya. Namun apalah dayaku ketika semua itu hanyalah imajinasi belaka. -Bima

Di sini Bima berdiri, di dalam unit kesehatan sekolahnya. Semenjak tadi pandangan matanya terus menerus menatap seorang gadis yang tengah tergeletak di tempat tidur berseprai putih itu.

Ia adalah gadis yang sama dengan yang selalu diperhatikannya sejak saat awal menerima hukuman di kelas tadi. Gadis yang hingga saat ini belum sekalipun diketahui namanya oleh Bima.

Mata gadis itu masih terpejam sempurna menunjukkan bahwa gadis itu belum tersadar dari pingsannya. Berulang kali Bima menggosokkan minyak kayu putih di hidungnya agar ia terbangun, namun sepertinya usaha yang dilakukannya hanyalah sia-sia belaka. Matanya tetap saja menutup tak memberi reaksi apapun seolah malas untuk kembali terbuka.

Wajahnya yang damai dan menggemaskan sedikit menghilangkan kekhawatiran di hati Bima untuk meyakinkan dirinya bahwa gadis itu hanya tertidur saja.

Mau tak mau, kejadian itu menginggatkannya akan kenangan di masa kecilnya. Pandangannya menerawang akan kejadian beberapa tahun silam dimana ia harus menerima kenyataan yang sangat pahit. Menunggu seorang gadis kecil terbangun hingga pada kenyataannya dia tidaklah mungkin terbangun kembali, adalah pukulan berat bagi hidupnya.

Kejadian itu benar-benar membuat tubuhnya seperti ditimpakan palu raksasa yang tak dapat diangkatnya. Gadis kecil itu adalah adiknya, lebih tepatnya adalah adik kandungnya sendiri. Adik yang sangat ia sayangi, yang harus pergi meninggalkannya selamanya karena kesalahan yang telah dilakukannya. Mungkin lebih tepatnya bukan kesalahan melainkan kecerobohannya.

Bima meruntukki kebodohonnya, andai saja ia adalah doraemon yang dapat memutar waktu untuk kembali. Namun ia sadar, ia hanyalah manusia biasa. Sekuat apapun usahanya untuk memutar waktu, namun takdir yang menentukan semuanya. Ia menyesali mengapa saat itu ia begitu bodoh hingga harus membuat adik yang disayanginya meninggal dunia.

Rasa bersalah itu tak pernah hilang walau waktu terus bergulir maju. Ia lalai sebagai seorang kakak yang mempunyai tanggung jawab untuk menjaga adiknya. Ia seharusnya tahu bahwa adiknya menderita penyakit mematikan dan tak bisa ditinggalkan begitu saja. Ia harusnya paham dan coba mengontrol dirinya agar tidak berbuat egois. Namun apa kenyataannya, dia tetap pergi meninggalkan adiknya dengan penyakit leukimia yang menggerogoti tubuh gadis kecil itu di malam dingin dengan hujan lebat mengguyur. Bima sadar bahwa dirinya telah melakukan kesalahan yang sangat fatal. Adiknya kedinginan, adiknya ingin bersamanya, adiknya ingin mendapatkan kasih sayangnya, tapi ia malah pergi.

Jahat? Mungkin itulah kesan yang tepat untuk ditujukan kepada seorang Bima.

Namun, Bima memiliki alasan. Dimana ia sebagai anak kecil sudah dihadapkan pada pilihan antara tiga sosok yang sangat disayanginya. Antara adiknya, ayahnya, dan ibunya. Anak mana yang tak ingin keluarganya bahagia. Ia mendambakan keluarga yang menyayanginya. Wajar bila ia kalut malam itu. Wajar bila emosi menguasai tubuh mungilnya. Yang ia tahu di bangku taman itu, semua tak sedang baik-baik saja. Hati dan jiwanya yang menyuruhnya untuk meninggalkan tempat itu. Dan itulah kesalahannya, ia meninggalkan adiknya yang tak tahu dengan keadaan yang sedang terjadi. Wajah adiknya, selalu menghantuinya. Wajah itu selalu memenuhi fikirannya, bahkan hingga saat ini tak dapat terhapuskan.

Air mata Bima menetes perlahan. "Maaf," lirih Bima pelan disela air mata yang menetes semakin deras. Saat itulah ia berjanji, bahwa ia tak akan mengulang kesalahan yang sama untuk kedua kalinya.

Namun janji hanyalah janji. Ikrarnya pada diri sendiri ternyata ia langgar juga. Harapannya agar kesalahannya terhadap adiknya menjadi kesalahan terakhir di hidupnya kini telah pupus. Semua hanya tinggal angan bagi Bima. Ia merasa waktu tak pernah berpihak padanya.

Heart? This Time!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang