Sama Namun Berbeda

87 34 39
                                    

Mungkin awalnya aku memang ingin pergi menjauh darimu, namun apakah akhirnya nanti aku sanggup bila harus melakukan itu? -Irene

---play music---

"Gue dimana?” ulang Irene lirih sembari memandang sekelilingnya.

Kini ia sudah tidak lagi menatap sosok laki-laki bernama Bima yang berdiri di hadapannya.

Hidungnya mencium bau yang tidak ia sukai, bau obat-obatan menyengat. Ruangan berwarna putih itu sudah dapat diyakini olehnya sebagai unit kesehatan sekolah sebelum sosok itu menjawab pertanyaannya.

Basa-basi, itulah yang ia lakukan.

Bima tersenyum gugup, sepertinya ia telah menyadari bahwa Irene melihatnya memandang dirinya.

"Unit Kesehatan Sekolah," jawab Bima mencoba santai dan menetralisir keadaan yang canggung.

"Oh, lo yang bawa gue kesini?" tanya Irene kepada kakak kelasnya itu.

Sampai detik ini ia tak percaya bahwa Bima yang telah membawanya ketempat ini.

Awalnya ia berfikir bahwa semua kakak kelas bagian tata tertib itu sama saja,  judes dan menyeramkan.

"Kenapa dia engga?" batin Irene diliputi rasa penasaran akan sosok Bima yang sebenarnya.

Lagi-lagi Irene memandang Bima. Tanpa disadari oleh Irene, Bima juga melakukan hal yang sama.

Nyaman, itulah rasa yang selalu dirasakan oleh Irene saat menatap Bima.

Baginya melihat manik mata milik Bima sama artinya dengan menekan kerinduannya yang sedang meletup-letup di dada. Manik mata itu mirip seperti milik orang yang paling disayanginya. Pandangan mata yang teduh membuatnya selalu merasa dalam keamanan. Irene tak mau melepaskan pandangan mata itu begitu saja, ia sudah benar-benar merindukannya.

Setetes demi setes cairan bening lolos dari pelupuk matanya. Isakan kecil dapat terdengar oleh Bima kalau saja gadis itu tak berusaha mati-matian menahannya.

Irene sadar bahwa orang yang berada di depannya adalah kakak kelasnya bukan kakaknya. Irene tahu mereka bukanlah orang yang sama, dan Irene baru mengenal sosok di depannya itu beberapa jam saja.

Namun pada kenyataannya ia tak bisa menghianati hati kecilnya. Ingin rasanya ia berteriak pada Bima bahwa ia sangat merindukan kakaknya. Ia sangat merindukan orang yang selalu memberinya perhatian dan menatapnya teduh. Namun ia juga sadar bahwa ia bukanlah siapa-siapa. Bahwa kakaknya sudah tiada dan bukanlah sosok yang berada di depannya kini.

Sampai kapanpun Irene hanya akan dapat memendam rindu saja, tak akan lebih dari itu.

Mau sekeras apapun usaha itu dilakukan, ia tetap tak akan dapat bertemu dengan kakaknya. Apalagi hingga mengembalikan kakaknya untuk kembali berada di sampingnya, itu adalah hal mustahil yang tak akan dapat dilakukannya.

Andai saja jam dapat berputar ke belakang. Mungkin ia sudah akan menghapus kejadian itu agar kakaknya tak pergi dari sisinya.

Namun, jam berputar ke depan, tak pernah sekalipun berputar ke belakang.

Sejujurnya ia tak pernah ingin kejadian itu terjadi. Jika ia boleh memilih ia ingin tetap menikmati kebahagiaan bersama kakaknya itu.

Namun apakah ia akan melawan takdirnya? Tidak, ia tak akan pernah bisa melawan takdir sekalipun ia adalah seorang penyihir yang memiliki tongkat ajaib.

Sebuah tangan kekar menyentuh pundaknya.

Mengalihkan semua bayangan yang tecipta di otaknya tentang sosok kakaknya.

Heart? This Time!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang