Bukalah matamu dan pandanglah dunia yang ada di depanmu, hadapi kenyataan dengan senyuman, dan yakinlah bahwa diluar sana banyak orang yang mempunyai masalah lebih berat daripada masalahmu - Irene
Irene melangkahkan kakinya dengan sangat lebar. Ia harus sampai di tempat yang akan ditujunya dengan tepat waktu.
Seragam sekolah putih abu-abu masih dikenakannya dan tas ransel merah mudahnya masih bergelanyut manja di punggung mengikuti arah gerak langkahnya.
Di tangannya sudah terdapat dua plastik besar belanjaan berlogo sebuah swalayan ternama di kota itu.
Panas matahari yang menyengat dan membakar kulit tubuhnya tak mampu menghentikan langkahnya walaupun baju seragamnya sudah mulai basah oleh keringat yang menetes.
Perjalanan panjang yang begitu melelahkan itu akhirnya menghantarkan Irene ke sebuah gang kecil yang kumuh di ujung kota.
Ia memasuki gang kecil itu dan menemukan sebuah tangga di ujung gang yang sebenarnya merupakan gang buntu itu.
Tangga itu terbuat dari tanah yang dipenuhi dengan lumut hijau yang licin. Tangga itu telah kerap kali dilewatinya dan menjadi jalanan sehari-harinya selama beberapa tahun terakhir ini.
Irene mulai menuruni anak tangga yang hanya cukup untuk dilewati satu orang saja itu dengan hati-hati agar tidak terjembab di ke bawah.
"Kak Irene!" panggil seorang anak perempuan kecil dari kejauhan sesaat setelah ia berada di ujung tangga.
Anak perempuan kecil itu berlari-lari mendekati Irene. Baju anak itu terlihat kotor dan lusuh. Kaki mungilnya tersentuh batuan tanah yang kasar tanpa alas kaki.
Setelah berada dekat dengan Irene, ia segera memeluk sosok di depannya itu dengan sangat erat.
"Hai Anya," jawab Irene sembari menaikkan anak perempuan kecil yang semula memeluknya erat itu ke dalam gendongannya, setelah sebelumnya terlebih dahulu menurunkan kedua kantong plastik besar yang ada dalam genggamannya.
Anya membenamkan kepalanya di bahu Irene. Bau tubuhnya seolah memberikan kenyamanan tersendiri bagi anak perempuan kecil itu.
"Kak Irene!" seruan lain datang dengan tiba-tiba dari segerombolan anak kecil lain yang tengah asik bermain dan menganggetkan Irene.
Anak-anak itu segera meninggalkan permainannya dan menghambur ke pelukan Irene.
Pelan-pelan ia menurunkan Anya dari gendongannya, dan mulai memeluk anak-anak kecil yang lainnya.
"Ini, kakak punya makanan kecil buat kalian semua," ujar Irene memberikan dua kantong plastik besar yang tadi dibawanya kepada dua anak yang berada di dekatnya setelah selesai berpelukkan dengan mereka semua.
Kedua anak tadi segera menerima kantong plastik itu dan berlari gembira menuju tempat teman-temannya yang lain. Dibukanya kantong plastik itu, dibaginya dengan adil hingga semuanya mendapat, dan dinikmatinya dengan penuh tawa.
Irene tersenyum senang. Di dalam hatinya ia bersyukur karena masih dapat terus berbagi kepada anak-anak kecil yang ada dihadapannya itu. Ia merasa ada kenikmatan dan kepuasan tersendiri baginya ketika melakukan hal tersebut.
Kegiatan ini bukanlah lagi hal yang asing, namun adalah hal yang biasa dilakukan Irene.
Terletak di bawah kolong jembatan yang kumuh dan dipenuhi oleh tebaran sampah yang menggunung.
Genangan air bewarna kecoklatan yang mengeluarkan bau busuk tak pernah memadamkan semangatnya untuk terus-menerus datang di tempat ini.
Irene berjalan menuju sebuah gubug triplek yang letaknya tak jauh dari tempatnya berdiri. Gubug ini pernah menjadi pengisi hari-harinya sesaat setelah kepergian orang yang disayanginya. Ada sejuta kenangan tersendiri dari pembangunan gubug triplek ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heart? This Time!
Teen FictionSetiap waktu dapat mengungkapkan rasa. Setiap waktu dapat mengungkapkan cerita. Namun apakah dalam hidup hanya terdapat cerita bahagia? tidak, ini adalah kisahku dengan segala suka duka hidupku dan cerianya hatiku-Irene Wijaya, gadis dengan paras ca...