Aurora Castleine pov . .
Aku mendongak melihat Prince berjalan cepat melewatiku. Aku masih berdiri pada posisi awalku dengan handphone di genggamanku, “Prince? Siapa yang mengantarmu pulang?” sapaku saat Ia berjalan cepat melewatiku. Tak biasanya Ia seperti ini. Prince selalu menyapaku saat Ia pulang sekolah. Tapi, siapa yang mengantarnya pulang? Bahkan Prince belum menelponku sama sekali untuk menjemputnya.
Tanpa bepikir jauh, aku langsung melangkahkan kakiku cepat menuju kamar Prince. Ia sempat menutup pintu kamarnya saat aku belum sempat masuk, “Prince? Kau kenapa? Kalau kau lapar biar kakak buatkan makan untukmu” tanyaku pelan. Kurasa Prince sedang ada masalah.
Ia terdiam sejenak menatapku lalu merogoh tas ranselnya. Ia menyodorkan sebuah amplop panjang padaku tanpa mengucapkan sepatah katapun. Surat panggilan sekolah?
“Apa yang kau lakukan di sekolah Prince? Mengapa sekolah memberimu surat panggilan orang tua seperti ini? Apa kau berbuat salah?” aku menatap Prince tajam. Sungguh, ini baru pertama kalinya terjadi. Sejauh yang aku tau, Prince adalah murid yang baik dan pintar di sekolahnya.
“Kau tak bisa menyalahkanku. Mereka yang mengataiku terlebih dulu,” balas Prince membela diri.
Aku menarik nafas dalam. Berusaha menenangkan diriku sendiri, “Apa yang mereka katakan padamu Prince?” aku menunduk menyamakan posisi wajahku dengan wajahnya. Tangan kananku membelai rambut panjangnya.
Wajah Prince berubah kesal, “Mereka mengatai mama papa kak. Apa aku salah jika aku melawan? Mereka mengataiku banyak hal. Mereka berkata bahwa mama dan papa tak menyayangiku. Mama dan papa akan meninggalkanku. Mama dan papa tak peduli padaku. Tapi setelah aku fikir lagi, sepertinya mereka benar.” seketika telingaku memanas mendengar kalimat terakhir yang Prince lontarkan padaku.
“Prince jaga bicaramu! Jangan berkata sembarangan!” bentakku spontan tepat di depan wajahnya. Sungguh itu sangat spontan. Bahkan aku tak sadar bahwa aku sudah membentaknya. Kulihat mata Prince yang mulai berkaca-kaca. Aku benar-benar merasa bersalah. Aku menggenggam erat bahu Prince, “Oh ayolah Princess. Maafkan kakak” aku membelai lembut rambutnya. Kuharap Ia tak terlalu mengambil hati bentakkanku tadi.
“Tapi papa dan mama memang tak peduli pada kita bukan? Mereka mementingkan diri mereka sendiri. Kak Zaynpun tak ada bedanya dengan mereka. Dan apa sekarang kakak juga akan sama seperti mereka? Tak ada yang peduli denganku,” ucapan Prince benar-benar membuatku terdiam. Bahkan aku tak tau lagi, harus seperti apa aku menjelaskannya?
Ke-dua tanganku masih menggenggam erat bahu Prince, “Siapa bilang tak ada yang peduli denganmu? Aku sangat peduli denganmu. Begitupula mama dan papa. Kak Zayn juga sangat menyayangimu Prince. Hanya saja Ia tak memperlihatkannya padamu. Kau itu Puteri di rumah ini,” ucapku sesekali mengusap pipi Prince yang mulai basah. Aku sangat mengerti perasaannya.
“Aku tak percaya,” balasnya singkat. Aku tediam sejenak memikirkan kata-kata apa lagi yang harus aku ucapan agar Prince mengerti.
“Lalu untuk apa papa dan mama menamaimu Princess Genovia? Kau tau? Genovia adalah nama dari sebuah kerajaan terkenal dan makmur di Disney. Mia adalah nama Putri kerajaannya. Ia sangat cantik, ramah, dan juga baik pada rakyatnya. Arti namamu sangat cantik. Sama seperti pemilik namanya. Dan kau tau? Mama dan papa sangat menginginkan kau mempunyai sifat seperti Mia.” sungguh, kalimat itu benar-benar spontan aku ucapkan. Bagaimana aku bisa tau? Mama pernah menceritakan semua itu padaku.
Prince menggigit bibir bagian atasnya. Jemari-jemari tangannya perlahan mendekati bahuku. Aku tersenyum lega saat Prince memelukku erat. Kurasa Ia lebih tenang dari sebelumnya, “Maafkan aku. Sebenarnya aku tak ingin membuatmu khawatir. Tapi siapa yang akan datang ke sekolah? Aku yakin, papa dan mama pasti akan kecewa,” ucapnya lirih. Aku membelai lembut rambutnya.
“Biar kakak yang akan datang,” balasku masih dalam pelukannya.
-
Aku mengambil kunci mobil yang berada di atas meja di ruang tengah setelah berpamitan dengan mama. Jujur saja aku tidak berkata apapun pada mama tentang surat itu. Aku hanya berkata bahwa Prince ingin mengajakku keluar.
“Prince cepatlah!” teriakku saatku hampir berada di ambang pintu. Aku memutar kunci pintu ke kanan dan membukanya dengan cepat.
Aku terdiam sejenak. Seseorang telah berdiri tepat di depanku, “Niall? Untuk apa kau berdiri di sini? Tak haus ha?” mataku membulat. Baru beberapa jam yang lalu dia datang ke rumah, lalu siang-siang seperti ini dia... oh sudahlah.
“Tadi kak Niall yang menjemputku dan mengantarku pulang,” ucap Princess yang ternyata sudah berdiri di sampingku. Dalam rangka apa Niall menjemput Prince? Ataukah Prince yang meminta Niall menjemputnya?
“Maaf aku mengagetkanmu. Aku tau kau akan pergi ke sekolah Prince siang ini. Biar aku saja yang mengantar kalian. Pakai mobilmu tak apa kan?” ucapnya membuat dahiku mengernyit. Aku memiringkan sedikit kepalaku dan menatap Niall dengan tatapan bingung. Jujur, aku tak mengerti.
Atau jangan-jangan, “Hei? Kau menyukai Princess?” tanyaku spontan membuat Niall terkekeh. Entah apa yang ada di fikiranku.
“Apa kau sudah gila? Princess memang cantik. Tapi aku lebih memilih kakak perempuannya” balasnya membuatku terdiam. Niall memang handal dalam hal rayu-merayu. Tapi kurasa, Ia tak pernah merayu orang lain selain aku. Tunggu, apa maksudku?
“Sudahlah, mana kunci mobilmu? Setidaknya kau tidak perlu repot menyetir bukan? kau harus bersyukur mempunyai teman yang baik sepertiku,” ucapnya membuyarkan lamunanku. Niall benar juga. Lagi pula aku tak perlu repot-repot menyetir bukan?
-
Selama perjalanan aku hanya terdiam melihat kendaraan yang berlalu lalang. Sekaligus mendengarkan percakapan Niall dan Prince yang tak juga berhenti sejak awal menaiki mobil. Mereka terlihat begitu dekat. Aku sendiri heran.
Tiba-tiba saja mataku mengarah mobil sport Zenvo S1 berwarna putih milik... Harry? Aku tak henti-hentinya mengamati plat nomor mobil itu. Dan tepat sekali, itu adalah mobil sport milik Harry. Untung saja traffic light masih menyala merah. Aku mengamati toko-toko yang berada tak jauh dari mobil itu.
Mataku mengarah pada seorang laki-laki yang sedang duduk di sebuah kedai kopi yang berkesan minimalis tepat di samping mobil Harry. Terlihat pula seorang perempuan cantik yang sedang duduk di depannya. Seorang perempuan yang sangat aku kenal. Alicia. Tapi, bukankah mereka akan pergi ke toko buku? Oh mungkin saja mereka hanya mampir sebentar. Tapi bagaimana jika mereka memang sedang menjalani pendekatan?
“Aurora berhenti melamun,” ucap Niall membuatku tersadar dari lamunan panjangku. Aku menghela nafas panjang. Berusaha menenangkan pikiranku dan tetap bepikir positif. “Apa yang tadi kau lihat?” tanyanya lagi membuatku mengernyit.
“Harry,” jawabku spontan tanpa berpikir panjang. Oh Tuhan untuk apa aku menjawabnya? Aku menggigit bibir bagian bawahku. Aku khawatir. Bagaimana jika Niall benar-benar mengira bahwa aku menyukai Harry?
Oh tidak tidak. Melihat bukan berarti menyukai bukan?
Aku menoleh ke arah Niall. Aku mendapati ekspresinya yang berubah begitu drastis. “Aku hanya kaget mengapa bisa ada Harry di sana,” ucapku sedikit ragu.
Niall menoleh ke arahku, “Bahkan aku tidak bertanya sama sekali. Kau harus mengaku padaku jika kau memang menyukainya,” balasnya membuat mataku membulat. Lagi pula jika aku menyukai Harry apa ada masalah dengannya? Itu semua menjadi urusanku bukan?
-------------------------------------------------------------
A/N : so sorry for the weird story. lilo, papanya zayn dan alasan kenapa mama nya zayn nangis bakal muncul di next part. kalo respond nya dikit mungkin bakal di stop/next bulan Mei yaa :) kritik/saran boleh banget kok :) leave ur comments after reading and please leave ur votes if my story deserved it. thanks fore reading<3

KAMU SEDANG MEMBACA
Little Black Dress {pending}
Teen FictionJujur saja, percaya tak percaya, aku belum pernah sekalipun memakai dress. Bukan karena aku membencinya. Hanya saja menurutku skinny jeans itu lebih nyaman. Tapi aku berjanji akan memakai nya saat aku sudah menemukan apa arti cinta sesungguhnya. c...