1. AKU

423 30 35
                                    

Namaku Saka. Tolong diingat karena nama ini akan muncul sepanjang cerita. Ayahku seorang laki-laki dan ibuku seorang perempuan. Adikku tidak tahu, belum lahir. Mau laki-laki atau perempuan, terserah, yang penting bersedia ku ajak main StarWars. Saat itu bukan film, tapi sebuah permainan di komputer. Ah, tapi bahaya juga mengajak anak kecil main barang mahal.

Saat itu, komputer bisa dibilang barang mewah. Aku masih ingat, suatu siang sepulang sekolah saat masih SMP, ku rayu ibuku untuk membeli komputer seperti punya Ibnu, sahabatku. Tentu saja permintaan itu tidak langsung dikabulkan. Butuh waktu beberapa bulan hingga akhirnya aku tidak perlu main ke rumah Ibnu tiap sore hanya untuk main komputernya.

Ya, Ibnu. Dia seorang laki-laki. Sahabat karibku yang sejak SMP hingga SMA selalu setia dan ada disampingku, termasuk saat ujian. Sebenarnya yang beruntung disini adalah aku karena punya teman jenius macam dia. Ibnu adalah sosok yang tekun, cerdas, dan serius. Menuntut ilmu adalah prinsip hidupnya. Aku juga bingung, padahal ilmu tidak salah apa-apa.

"Aku nggak tertarik sama cinta. Bikin repot." Ujar Ibnu disela-sela makan siang kami.

"Ya nggak apa-apa, toh Cinta sudah punya Rangga," kataku.

"Bukan film mas!"

Selain Ibnu, ada lagi Budin. Laki-laki juga. Sahabat karibku juga. Bedanya, aku baru mengenal Budin saat masuk SMA. Bisa dibilang, Budin adalah kebalikan dari Ibnu. Jika Ibnu seperti malaikat yang membisikkan hal-hal positif padaku, maka Budin membisikkan hal-hal biadab seperti setan. Tapi selama ia tidak mempengaruhiku untuk makan buah khuldi, bagiku, Budin tetap kawan sejati.

"Tau guru baru Ekonomi itu? Mantap!" Budin bersemangat.

"Matanya bagus," Ibnu sekedar menanggapi.

"Halah, semua laki juga tahu kalau indahnya perempuan ada di mata. Tapi mata laki macam aku ini kadang malu, milih turun sedikit menuju dada." Budin tertawa. Aku juga tertawa, Ibnu tidak.

Begitulah kira-kira aku menghabiskan masa SMA-ku bersama Ibnu dan Budin. Dua manusia yang bertolak belakang, namun bisa sama-sama membahagiakanku. Hei, apa kabar kalian? Sudah lama tidak ku telepon.

Aku dan Ibnu sekelas, yaitu XI IPS 1. Sedangkan Budin XI IPA 2. Tak heran jika kami berdua hanya main dengan Budin saat istirahat atau pulang sekolah. Itupun jika Budin tidak dengan klub motornya. Bukan geng, tapi klub. Hanya sekedar konvoi dan memiliki jaket seragam. Tidak lebih dari itu. Kenapa aku dan Ibnu tidak bergabung? Kalau Ibnu, kalian pasti tau alasannya. Orang macam dia mana sudi menghabiskan waktu selain belajar. Kalau aku, motor memang bukan hobiku. Meskipun di rumah ada beberapa motor nganggur mulai dari moge alias motor gede, sampai vespa milik ayahku. Lagipula motor-motor itu juga belum lunas semua.

Lalu hobiku? orang masa kini menyebutnya street art. Mengotori fasilitas jalanan sana-sini dengan pilox atau alat lain. Tapi jujur aku tidak setuju dengan kata 'mengotori' itu. Sejatinya kami tidak 'mencorat-coret' sembarangan, tapi kami menuangkan opini dan gagasan kami. Setelah itu terserah mau di apakan. Dibersihkan, dibongkar, atau bagaimana, yang penting suara kami sempat didengar. Lebih mulia dibanding pegawai negeri yang terlambat saat apel pagi atau tidur saat rapat, kan?

Sebenarnya ada tiga macam street art. Vandal, Graffiti, dan Mural. Jika kalian sering melihat corat-coretan yang tidak mengandung unsur seni sama sekali, bahkan lebih pantas dibilang kotor, maka itulah Vandal. Jelas aku dan kawan-kawanku bukan tipe yang seperti ini.

Berbeda dengan Graffiti yang lebih terkonsep, memperhatikan warna, bentuk, simbol, maupun kata

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Berbeda dengan Graffiti yang lebih terkonsep, memperhatikan warna, bentuk, simbol, maupun kata.

Lain lagi Mural, yang satu ini dianggap paling legal karena bisa digambar berdasarkan persetujuan sang pemilik bangunan, tembok, atau apalah itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Lain lagi Mural, yang satu ini dianggap paling legal karena bisa digambar berdasarkan persetujuan sang pemilik bangunan, tembok, atau apalah itu. Ya meskipun banyak juga yang ilegal macam aku dan kawan-kawanku. Mural seringkali berisi ide maupun perasaan dari penciptanya. Tak jarang, Mural juga dijadikan sebagai ajang komentar terhadap persoalan masyarakat.

 Tak jarang, Mural juga dijadikan sebagai ajang komentar terhadap persoalan masyarakat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
SANG SAKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang