11. RINDU

107 16 4
                                    

Akhir bulan keempat, ujian bagi kelas sepuluh dan sebelas benar-benar terlaksana. Konyol jika kubilang bahwa diriku tidak fokus ujian karena Ratih yang segera pindah. Tenang saja, cintaku tidak sebuta itu.

Bukannya aku tidak mencintai Ratih, aku cinta dia. Sangat cinta. Tapi aku lebih memikirkan bagaimana ayahku banting tulang mencari uang demi biaya sekolah yang kian naik tiap tahunnya. Jadi bukan waktunya untuk meratapi perasaan yang makin hari makin kacau ini.

Ratih menceritakan semuanya. Tentang dia yang sebenarnya keberatan dengan gaya hidupku, pergaulanku, dan semacamnya. Tentang dia yang harus pindah ke provinsi lain karena tugas sang ayah selaku pegawai negeri. Tentang dia yang sebenarnya ingin tinggal di kota ini saja, tetapi tidak diizinkan oleh orangtuanya. Tentang dia, yang begitu takut merindukanku.

Walau pembagian rapot belum dilaksanakan, orangtua Ratih memutuskan untuk segera berangkat supaya bisa leluasa mencari sekolah baru untuk putrinya. Masih kuingat perkataan ayah Ratih, "Kalau sudah lulus dan punya pekerjaan, kau boleh susul Ratih. Kasian dia nunggu lama-lama."

Intinya sejak itu, aku tidak bisa lagi mengajak dia naik motor keliling kota, mampir ke rumah makan pinggir jalan, berkeliling pasar, atau membeli es goyang kesukaannya.

Rat, apa rindu ini hukuman buatku?

***

Semuanya baik-baik saja. Saling telepon seperti biasa, mendengar tawa Ratih seperti biasa, dan mencintai Ratih seperti biasa.

"Lagi ngapain?" tanyaku ketika suatu hari menelepon Ratih.

"Nih, makan coklat." Jawabnya.

"Dikasih siapa?"

"Mas-mas kasir minimarket, hehe."

"Oh,"

"Kamu nggak pernah ngasih coklat," keluh Ratih.

"Buat apa coklat, mending seperangkat alat sholat."

Ratih tertawa.

"Tapi nggak sekarang, sabar."

"Hehe, iya."

Atau,

"Hari sudah libur, rinduku belum." Ujarku ketika menelpon Ratih di lain waktu.

"Aku juga," kata Ratih.

"Apa?"

"Nggak tau, deh."

Aku tersenyum, entahlah Ratih.

"Tunggu bentar, ya," katanya.

"Mau bantuin Bu Fikri?" tanyaku.

Ratih tertawa, "Bukan, ada tukang pos."

"Oh,"

Aku diam, menunggu Ratih yang entah sedang apa. Semoga saja tukang posnya tidak tampan.

"Halo?" Ratih kembali.

"Iya,"

"Kamu ngirim surat?" tanyanya.

"Nggak,"

"Kok, ini ada suratmu."

"Dikasih siapa?"

"Tukang pos tadi,"

"Palsu mungkin,"

"Mana mungkin," Ratih tertawa, "ini tulisan tanganmu."

"Nggak percaya, ah. Coba baca,"

Kemudian Ratih melakukan apa yang kuminta. Sesekali, ia tertawa ketika membaca surat itu.

✒✒✒

Sebelum baca, basmallah dulu!

Segala puji bagi Tuhan semesta alam karena telah mempertemukan hamba dengan sosok cantik yang sedang membaca ini. Bersama surat ini, ingin saya beritahukan sebagai berikut :

Saudari Ratih, bersediakah anda? Bangun pagi melihat saya. Sarapan sama saya. Pagi-pagi cium tangan saya. Sholat berjama'ah imamnya saya. Kalau datang bulan nggak ada yang bisa dihajar ya terpaksa hajar saya. Sewaktu ngidam yang beliin surabi dekat lampu merah ya saya. Bagi tugas ganti popok sama saya. Nyuruh saya jawab bilamana anak-anak memberi pertanyaan jebakan macam, "adek bayi asalnya darimana?". Diskusi pilihan jurusan mereka sama saya. Yang jelas sampai batas usia memisahkan kita. Bagaimana?

✒✒✒

"Bagaimana?" ku tirukan kata terakhir surat itu.

Ratih diam.

"Rat?" panggilku.

"Ka," kini giliran Ratih memanggilku.

"Hm?"

"Aku rindu."

"Jangan, Rat. Rindu itu bahaya."

Semua marah ada redanya
Semua sedih ada kadaluarsanya
Lain lagi rinduku,
yang tidak ada habisnya

-Saka

***


April, 2006

Hubungan kami bertahan hingga tahun berikutnya. Namun, persiapan Ujian Nasional mengharuskan Ratih belajar lebih giat lagi hingga dia jarang bisa ku hubungi. Pada dasarnya semua orang akan sampai pada titik "tidak mau lagi" atau "tidak sanggup lagi", termasuk dalam cinta. Begitulah sampai pada akhirnya kami sepakat untuk berhenti.

Sudah jalan sebulan sejak Ratih menangis lewat telepon dan bilang bahwa dia tidak bisa seperti ini terus. Berhubungan lewat telepon, surat, atau sekedar rasa saling percaya selama setahun belakangan rupanya tidak cukup.

Aku tahu, laki-laki harusnya tidak menangis. Tapi sungguh munafik jika kubilang bahwa saat itu diriku tidak menangis. Ketika Ratih meminta maaf dan minta agar hubungan ini dihentikan, maka saat itu juga, aku benar-benar kehilangan peran utama dalam kisah ini. Dari awal sudah kubilang bahwa rindu itu bahaya. Bahkan Ratih menyerah gara-gara rindu.

Itu haknya. Dia mau bertahan atau tidak, keputusan sepenuhnya di tangan Ratih. Aku tidak berhak memaksa dan menahannya agar tetap mencintaiku, sementara aku sendiri tidak berada di sisinya. Aku tidak tahu, apakah alasan Ratih benar-benar karena tidak kuat rindu ataukah ada alasan lain yang tidak ingin ia rundingkan bersamaku.

Yang jelas meski hubungan kami berakhir, Ratih masih menyempatkan diri untuk menghubungiku. Sekedar menanyakan bagaimana kabarku, bagaimana kabar Ibnu, Budin, dan Sidiq. Atau, menanyakan di kampus mana aku mendaftar, dan bagaimana aku menghabiskan liburan panjangku setelah lulus SMA.

"Masih ngegambar di jalanan?" tanya Ratih ketika suatu hari kami berbincang via telepon.

"Masih," jawabku.

"Oh,"

"Kan, itu duniaku." Tambahku.

Ratih diam sejenak, "Iya."Ucapnya kemudian.

Yang mau ku tekankan hanya satu. Bahwa street art adalah hobi yang tidak akan kutinggalkan, apapun alasannya, bahkan meski Ratih tidak suka. Bukan berarti aku tidak menghargai Ratih. Kumohon kalian mengerti, saat itu diriku hanyalah laki-laki yang berpikiran sederhana. Laki-laki yang berusaha menjalani hidup baru dan bangkit dari masa lalu. Meskipun pada dasarnya diri ini tetap berharap Ratih kembali, atau minimal, dia bertanya lagi, "Sudah boleh rindu Saka, belum?"

Ah, apakah pantas aku mengharapkan pertanyaan itu? Sementara Ratih mungkin saja sudah benar-benar tidak merindukanku. Atau bahkan, sudah bertemu laki-laki yang lebih baik disana. Ah, melupakanmu sejauh ini masih wacana buatku.

Bulan April. Hujan awet, kita tidak. Biarpun begitu aku senang karena kita berpisah tanpa ada kemarahan.

-TAMAT-

SANG SAKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang