2. POLISI

362 33 17
                                    

Januari, 2005

Kuceritakan sejak hari ini saja. Pagi itu aku berangkat bersama Ibnu menaiki motorku yang baru dicuci. Sekolahku cukup luas, bercat serba hijau, punya perpustakaan besar namun tidak punya labolatorium. Dulu ada, namun dibongkar entah kenapa. Jika penasaran, kalian bisa tanyakan pada Pak Hadi, kepala sekolahku di masa itu. Tapi aku tak tahu kabar beliau sekarang. Entah masih punya dua istri atau bagaimana. Ada atau tidaknya labolatorium, aku tidak peduli karena kami anak IPS memang tidak membutuhkannya.

Hari Jum'at begini, gerbang sekolah akan dijaga oleh Bu Wati, guru sejarah yang hobinya memeriksa kuku, rambut, kaos kaki, dan sabuk para murid. Aku sih tidak masalah asal beliau tidak tahu dan tidak menyita barang-barangku, termasuk alat lukis yang hari itu kubawa karena sepulang sekolah sudah janjian akan menggambar di tembok tinggi Jalan Kahuripan, bersama kawan-kawan street art lainnya. Bukan Ibnu ataupun Budin tentunya.

Sekolah hampir usai. Walau tidak ada guru, tetap saja harus menunggu bel agar diizinkan keluar oleh Kang Amin, penjaga gerbang yang hobinya nonton film porno sambil minum kopi di pos satpam. Alhasil, aku dan Ibnu ngobrol dalam kelas sembari membahas soal adikku yang kelak akan diberi nama apa. Saat itu ibuku tengah hamil tua.

"Kasih nama Shandy Aulia." Ujar Ibnu. Shandy Aulia adalah seorang aktris yang tengah melejit saat itu.

"Jangan."

"Kasih nama.." Ibnu berpikir sejenak, "Cinta!"

"Jangan, nanti Rangga naksir."

Ibnu tertawa. Ia mengerti bahwa yang kumaksud adalah Rangga teman sekelas kami yang memakai behel dan kerap berbicara gugup.

"Kasih nama Ratih, biar ketularan cantik," sergap Budin yang entah muncul sejak kapan. Aku tak mengerti apakah saat itu kelas Budin memang sudah selesai atau dia bolos (lagi).

Ibnu tersenyum, Budin juga. Jelas sekali bahwa mereka berniat menggodaku. Ratih yang mereka maksud adalah ketua kelasku. Perempuan yang sedari lama memang sudah ku kagumi.

"Boleh juga." Kataku.

Entah kenapa perempuan bernama Ratih itu tiba-tiba berjalan ke arah kami bertiga. Padahal tadinya ia sibuk mengamati secarik kertas ujian di bangkunya. Jantungku berpacu, apa dia mendengar guyonan kami?

"Saka," panggilnya.

"Iya?" sahutku.

Tangannya menyodorkan selembar kertas ujian yang sedari tadi ia pegang. Aku tak mengerti.

"Ada beberapa nomor yang kamu salah koreksinya." Katanya.

Ah, sekarang aku mengerti. Tadi memang aku yang mengoreksi kertas ujian milik Ratih.

"Oh, iya." Gumamku.

"Sudah aku perbaiki, tapi coba cek lagi. Tolong bilang sama Bu Gina, ya?" pintanya lembut.

"Iya, Rat."

Ratih pergi. Ibnu dan Budin entah bagaimana ekspresinya, aku lupa. Kemudian seperti yang Ratih anjurkan, aku kembali mengecek kertas itu. Meskipun pada dasarnya aku sudah percaya dengan Ratih. Orang macam dia mana mungkin berbohong soal ini.

Pukul setengah dua belas, bel sekolah berbunyi. Ibnu dan Budin pulang duluan karena aku memang sudah ada janji street art itu. Terlebih lagi Ratih memberikan amanah padaku. Seperti yang sudah kami sepakati sebelumnya, aku dan Ratih menuju ruang guru untuk menemui Bu Gina, guru Ekonomi yang dibilang bagus matanya oleh Ibnu dan indah dadanya oleh Budin. Ah, lupakan.

"Maaf ya, Rat." Ujarku.

"Nggak apa-apa. Yang penting tanggung jawab."

"Iya. Aku duluan, Rat. Ada janji."

SANG SAKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang