7. BUDIN

163 21 9
                                    

Maret, 2005

Sejarah Hayam Wuruk, si raja Majapahit itu rupanya masih jadi materi andalan Bu Wati selama dua pertemuan terakhir. Padahal beberapa murid sudah memberi kode dengan menguap, menidurkan kepala di meja dan lain sebagainya. Berbeda dengan Ibnu yang.. ah, kalian pasti tahu. Orang macam dia tentu mencatat semua perkataan guru. Bukannya aku tidak mau mendapat ilmu atau menghormati Bu Wati, tapi kisah Hayam Wuruk itu entah sudah berapa kali kutemukan di perpustakaan.

Hayam Wuruk, raja muda yang hendak menikahi Dyah Pitaloka Citrasemi, putri dari kerajaan Sunda Galuh. Menjelang pernikahan, Dyah Pitaloka justru bunuh diri karena tak kuasa melihat keluarganya habis dalam Perang Bubat. Perang itu sendiri terjadi karena Gajah Mada berkomitmen bahwa Kerajaan Sunda Galuh harus tunduk pada Majapahit. Tentu saja Sunda Galuh tidak sudi akan hal itu, hingga terjadilah pertumpahan darah. Bisa dibayangkan bagaimana perasaan Hayam Wuruk yang harus kehilangan calon istrinya karena ulah Gajah Mada, orang yang sudah ia anggap teman bahkan saudara. Ah, inti dari semua itu adalah ambisi politik. Tapi yang jelas sebesar apapun ambisi Gajah Mada dalam memajukan Majapahit, masih jauh lebih besar ambisiku dalam mencintai Ratih.

Sesekali ku pandangi Ratih yang duduk paling depan. Ku isi halaman belakang buku catatanku dengan berbagai omong kosong:

yang menghabiskan masa mudaku;

1. sekolah
2. berkhayal
3. mencintai Ratih

***

Bu Wati akhirnya keluar. Aku dan Ibnu pun segera memuaskan nafsu kami dengan memesan kopi hangat lengkap beserta gorengannya di Warung Tante Diah. Tak hanya kami berdua, ada Dikin, Bani, Sohib, dan teman-teman sekelas lainnya. Mulanya hanya membahas soal gempa yang baru-baru ini terjadi di banyak daerah seperti Palu, Garut, Bali, hingga Lombok. Namun entah kenapa pembahasan itu bisa menjalar kemana-mana.

"Kau tahu TII ngumumin kalau Jakarta itu kota paling korup?" kata Sohib.

TII adalah singkatan dari Transparency International Indonesia, sebuah jaringan global anti korupsi yang bertujuan untuk membersihkan negara dari praktik maupun dampak korupsi.

"Aku nonton beritanya jadi malu sendiri." Ujar Bani.

"Aku penasaran gaji pejabat itu berapa," gumam Dikin.

"Banyak lah," sergap Ibnu.

"Beli rokok sampe puas, bisa?" Dikin tertawa.

Aku, Bani, dan Sohib juga tertawa.

Ibnu kesal, "Kau mau rokok'an sampai sekarat?"

Sekedar informasi, Ibnu benci rokok.

Aku tersenyum jika ingat pembicaraan kami saat itu. Kadang aku berpikir kalau pejabat-pejabat korup itu semasa mudanya terlalu banyak belajar dan tidak sempat bandel. Jadi bandel dan brengseknya telat.

Saat itu terasa ada yang kurang. Ah, iya. Tidak ada Budin. Justru dia-lah yang paling jago soal memeriahkan suasana. Padahal tadi saat Bu Wati masih mengajar, kulihat Budin berjalan melewati kelasku. Biasanya dia akan menunggu aku dan Ibnu keluar. Atau, menghampiri kami di Warung Tante Diah ini. Sebenarnya bukan cuma hari ini saja. Beberapa hari ini aku merasa Budin sedang menjauhiku. Makin heran, ku tanya pada Ibnu,

"Mana Budin? Lama nggak keliatan."

Ibnu diam.

Kusenggol bahu Ibnu, "Hei,"

"Di kelasnya mungkin."

"Iya, tahu. Maksudku kok jarang kumpul?"

Berkali-kali ku desak Ibnu agar menjelaskan segala sesuatunya padaku. Hingga akhirnya, Ibnu cerita.

SANG SAKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang