5. SUSAN

166 25 9
                                    

Besoknya aku sekolah. Ratih juga, Ibnu juga, Budin belum. Padahal anak itu sudah sehat. Sengaja dia supaya berlama-lama santai di rumah. Saat bubaran sekolah, ku temani Ratih menunggu Mas Eko. Ada Kang Amin juga. Tapi sudahlah, aku malas membahas orang itu. Toh aku yakin dia tidak akan berani mengganggu Ratih lagi. Saka adalah pengawal Ratih mulai sekarang. Dimanapun, kecuali kamar mandi. Tidak mungkin 'kan aku menjaga Ratih sampai ke kamar mandi. Tapi setelah kupikir-pikir, boleh juga.

Tak lama kemudian Mas Eko datang dengan mobil hitamnya. Ratih masuk setelah memberi senyumannya padaku.

"Mas Eko?" panggilku.

Mas Eko menoleh.

"Bilangin ke ban-nya, jangan suka bocor," kataku.

Sekilas, kulihat Ratih tertawa dalam mobil.

"O iya, mas yang nganter neng Ratih kemarin? Makasih ya,"

"Sama-sama. Titip Ratih ya,"

"Iya."

"Ingetin dia jangan lupa PR."

Mas Eko terlihat bingung, "Iya,"

"Jangan lupa saya juga."

Ratih tersenyum, Mas Eko tambah bingung. Mobil hitam itu pun akhirnya pergi. Aku yakin, di mobil itu, Ratih akan menjelaskan pada Mas Eko perihal siapa aku dan apa posisiku bagi Ratih.

Ponselku berdering ketika diriku berada di parkiran dan bersiap untuk pulang. Hari itu bisa dibilang hari yang membahagiakan sekaligus mengkhawatirkan. Bagaimana tidak, ayahku menelpon, mengabarkan bahwa ibuku tengah berada di rumah sakit, menjalankan proses lahiran. Bergegas aku menuju rumah sakit. Sesampainya disana, proses lahiran ternyata sudah usai, namun kondisi ibuku kurang baik disebabkan oleh suatu hal yang tidak perlu ku jabarkan dalam kisah ini.

Adikku perempuan. Rencananya akan diberi nama Kinar. Namun saat itu namanya belum dapat diresmikan karena harus mengadakan sebuah acara terlebih dahulu. Ku hubungi Ibnu dan Budin dalam rangka membagikan kabar ini. Tanpa lama menunggu, Ibnu dan Budin datang ke rumah sakit. Ada Susan juga. Masih ingat, kan? Susan, sepupu Ibnu.

Soal Ratih, aku tidak mengabarkan apa-apa padanya. Jika ku hubungi, Ratih pasti akan datang ke rumah sakit. Menurutku, Ratih akan merasa canggung jika harus berkumpul dengan banyak orang. Ditambah lagi siang itu beberapa sanak saudaraku datang juga. Entahlah, pasti ada waktu yang pas untuk mengajak Ratih kemari.

***

Pukul empat sore, Aku, Ibnu, Budin, dan juga Susan bersantai di lobi rumah sakit sementara ayahku berjaga di kamar pasien. Susan duduk di sampingku, disusul Budin kemudian Ibnu. Kami berbincang.

"Namanya Kinar?" tanya Ibnu.

"Iya," jawabku.

"Nggak jadi Ratih?" potong Budin.

"Jangan. Nanti Ratih ada dua." Kataku.

"Kan, bagus," Budin membalas.

"Yang kucinta cuma satu. Kasian satunya lagi."

Aku tertawa, Budin dan Ibnu juga, Susan tidak.

"O iya, neng, lukanya udah mendingan. Makasih ya," ujar Budin pada Susan.

"Sama-sama, Kang."

"Kok bisa tahu banyak soal pengobatan gitu sih?"

"Di Bandung saya anggota PMR." PMR adalah singkatan dari Palang Merah Remaja.

"Wah, pantes. Hebat, hehe."

"Makasih, Kang."

"Berarti kalau luka lagi saya nggak perlu ke dokter dong, hehe."

SANG SAKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang