Ruzan menyingkapkan gorden jendela bis disampingnya. Matahari telah sepenggalah tingginya dan ia bisa merasakan kehangatan sinarnya. Sehangat ketentraman yang kini dimiliki hatinya. Sehangat rasa tenang yang menggelora di segenap rongga dadanya.
Ruzan yakin, rasa bahagia itu akan begitu purna ketika ia bisa melihat wajah keriput emaknya yang selalu tersenyum ikhlas dikala ia pulang. Wajah adik-adiknya yang tersenyum sumringah melihat oleh-oleh alakadarnya yang ia bawa. Dan sapaan tulus Haji Romli, guru ngaji semasa kecil di surau dulu.
Ah, Ruzan tak sabar untuk segera menjejakan kaki di kampung halamannya. Sekali lagi Ruzan menghela nafas panjang. Benar katamu Fatan, aku akan lebih beruntung darimu jika aku menyadari bahwa selama ini jalan hidup kita salah.
Kembali berkelebat kejadian dua hari yang lalu dalam pikirannya. Tepat sebelum Fatan pulang. Ketika itu Ruzan menunggu kereta fajar utama melintas di dekat rumah kosannya. Ketika didengarnya suara itu semakin mendekat ia berlari dari kosan menuju rel dan merentangkan tangan menantang malaikat maut –yang mungkin- siap mencabut nyawanya.
Ia pejamkan matanya, menunggu detik demi detik yang seakan memakan ketakutannya. Beberapa detik setelah itu, Ruzan merasakan sebuah terjangan. Tapi ia berharap itu hanya perasaannya saja. Karena yang ia rasakan bukanlah hantaman kereta api seperti yang ia harapkan, tapi justru ia merasakan sekelebat sosok menubruknya dari samping secara tiba-tiba, hingga membuatnya berguling-guling di semak belukar yang landai.
Ruzan memicingkan kedua matanya.
"GILA!! KAU SUDAH GILA RUZAN!!" Sebuah suara yang mencoba mengalahkan suara kereta kembali mengumpulkan segenap kesadarannya.
Ruzan terengah-engah dengan peluh yang membanjiri tubuhnya. Ia baru merasakan andrenalin yang memuncak seperti saat itu. Sementara ia melihat Fatan dengan ekspresi yang sama sepertinya.
"Kau gila Ruzan!"
"Aku hampir mati Fatan?"
Fatan tak merespon dan sibuk mengatur nafasnya yang memburu
. *****
"Jangan sekali-kali kamu menantang maut lagi Ruzan!" ujar Fatan. Sementara di tangannya terdapat kopor yang membengkak karena disesaki barang-barang.
Ruzan tersenyum hambar," Aku juga akan pulang."
"Kapan?"
"Besok."
"Dan kamu kan meninggalkan pekerjaanmu seperti halnya diriku?"
"Tidak. Aku hanya ingin pulang untuk sementara."
Fatan hanya tersenyum kecil ,"Tapi aku berharap kamu akan berubah Ruzan." Entah yang keberapa kalinya ruzan mendengar kalimat yang sama meluncur dari mulut Fatan. Yang pasti, akhir-akhir ini Fatan selalu mengucapkan kata-kata itu dan Ruzan selalu menanggapinya dengan setengah hati.
Tapi tidak, sejak kejadian kemarin dia mulai menyadari kegelapan yang menyelimuti hatinya. Dan perlahan kegelapan itu mulai tersingkap juga.
Awalnya Ruzan takut Fatan akan membencinya dan tidak mempedulikannya karena dia belum berubah. Tapi rupanya anggapan Ruzan salah besar. Fatan telah membuktikan bahwa dia adalah seorang sahabat yang mempunyai hati yang ikhlas. Bukan hati yang dipenuhi nafsu angkara sebagaimana hatinya.
Setidaknya hal itu sudah cukup bagi ruzan ketika Tuhan menjadikan Fatan sebagai perantara_Nya menyelamatkan nyawanya kemarin sore.
"Aku tetap sahabatmu Ruzan. Dan memang seharusnya kita hanya sebagai sahabat karib."
Ruzan tersenyum dan menganggukan kepalanya.
"Prabumulih! Prabumulih!" seru sang kondektur membuyarkan lamunan dan kantuk yang mendera para penumpang.
Pun dengan Ruzan. Ia tergeragap dari kantuknya dan langsung berseru. "KIRI! KIRI!"
Bus berhenti tepat di pertigaan jalan berbatu yang mengarah ke kampung ruzan. Ruzan turun dari bus dan menyampirkan tasnya di bahu sebelah kiri.
"Ojeg kang? Bade ka mana?" (mau ke mana?) seorang tukang ojek menawarkan jasa.
Ruzan menampik tawarannya. Tak perlu repot-repot naik ojek untuk sampai ke rumahnya. Baginya jarak satu kilometer bukanlah jarak yang terlalu jauh untuk ditempuh dengan jalan kaki. Lagi pula ia ingin merasakan suasana kampung yang sudah dua tahun ini ia tinggalkan. Ia ingin merasakan udara pagi yang menguarkan aroma jerami basah dari sawah-sawah sepanjang jalan.
Dan ia paling suka mengenang masa kecilnya dengan aroma sederhana itu. Ruzan mendengar kicau burung kenari yang sedang berloncatan di dahan pohon-pohon randu. Burung-burung jantan sedang berebut betina karena saatnya kawin.
Sepasang burung itu tiba-tiba melintas tepat dihadapan Ruzan. Ya Allah, burung pun terbang berpasangan. Betapa jauhnya hamba dari tanda-tanda kebesaran-Mu selama ini.
Sementara ia menikmati kicauan burung kenari itu hingga tak terasa sudah menjejak halaman rumah panggungnya. Senyum tulus wajah keriput emak sebentar lagi akan menyambutnya.
Cibeureum , 28 April 2014
-------------
Teruntuk ER, AZ, dan TO semoga kalian menemukan secercah harapan di lembar kehidupan baru kalian
KAMU SEDANG MEMBACA
OMNIBUS [Perempuan Senja]
SpiritualSenja Selalu membawa cerita, entah itu bahagia atau sekeping duka. Yang jelas, senja selalu membawa potongan-potongan kenangan yang tak pernah bisa terlupakan. Dan perempuan itu telah membuktikannya. Di dalam senja ia menemukan potongan kenangan yan...