Seorang pria tua berdiri didepan lemari pendingin, ia menatap setiap jenis minuman yang ada didalamnya. Asap mengepul dari rokok yang sejak tadi berada dibibirnya. Pria itu membuka lemari pendingin dan mengambil sekaleng minuman kopi, kemudian ia berjalan kearah kasir dan meletakkan minuman tersebut di atas meja kasir. Seorang perempuan yang menjadi kasir mengambil kaleng tersebut.
"sembilan ribu lima ratus rupiah pak, ada lagi yang lain?" sahut perempuan tesebut dengan senyum ramah.
Pria tua tersebut mengambil kopinya dan meletakkan uang lima puluh ribu rupiah, lalu pergi begitu saja dengan wajah datar tanpa menjawab pertanyaan si kasir. Senyuman di wajah kasir tersebut perlahan berubah, menunjukkan wajah yang lesu. Dia tidak habis pikir melihat tingkah lelaki tua itu, seakan uang itu adalah segalanya.
"dia nggak ngambil kembaliannya?" sahut seorang laki-laki dari belakangnya, rupanya dia sempat memperhatikan temannya saat ia lewat tadi.
"ya, padahal orang tadi cuma beli sekaleng kopi dingin"
"nggak semua pelanggan bisa diajak ramah, pasti banyak dari mereka yang sama sekali nggak ngerespons kita" katanya menenangkan.
"iya nggak apa-apa kok" sahutnya pelan.
"jangan cepet kebawa suasana, kamu harus bisa menjaga emosi agar tetap stabil"
"iya kak aku harus banyak belajar"
"Ya udahlah, sekarang giliran aku jaga. Kamu lebih baik cepet pulang Adis"
"oke, aku pulang dulu. Tolong ya kak Fiko" Adis pergi ke belakang, mengenakan jaket cokelat dan menyandang tasnya.
"Adis?" panggil Fiko, tepat saat Adis akan menarik gagang pintu masuk.
"udah malem, hati-hati pulangnya" kata Fiko sambil tesenyum kecil. Adis mengangguk kaku.
Adis berjalan cepat di trotoar, sesaat ia menatap jam ditangannya. Jam sembilan malam, ia berjalan cepat menuju halte bis. Lampu-lampu dari kendaraan memancarkan cahaya sesaat di wajah Adis, angin malam sejak tadi berhembus perlahan membuat Adis enggan mengeluarkan tangan dari saku jaketnya. Sesaat Adis menghela nafas. Hampir setiap hari ia pulang malam, meski ia baru bekerja di minimarket selama satu minggu tapi rasanya seperti sudah lama. Ia merasa lelah setiap kali pulang bekerja, tapi memang ini resiko yang harus Adis hadapi. Adis tidak terbiasa bekerja seperti ini, beberapa bulan lalu Adis baru saja lulus dari SMA. Adis masih memiliki keinginan untuk kuliah, tapi kondisi telah berubah. Adis memilih untuk bekerja di minimarket untuk mempertahankan kebutuhan yang sekarang harus Adis pikirkan. Tidak mudah bagi seorang gadis yang tidak terbiasa memikirkan bagaimana untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, namun Adis tetap berusaha agar ia terbiasa dengan kehidupan barunya.
Adis turun dari bis, rumahnya masih cukup jauh dari jalan raya. Ia harus berjalan sekitar lima menit untuk sampai ke rumahnya. Malam membuat suasana semakin sepi, hanya ada cahaya lampu di pinggir jalan dengan cahayanya yang temaram. Entah kenapa cahaya itu membuat perasaan Adis menjadi perih, rasa yang tidak ingin ia ingat lagi. Segala keegoisan yang ingin ia tumpahkan untuk menuntut rasa yang menyakitkan. Tapi, tidak. Adis mengatur nafasnya, mencoba menghilangkan emosi yang tiba-tiba ingin meledak. Adis menatap jalanan beraspal dihadapannya. Perlahan titik-titik air membasahi jalan, hujan mulai turun tanpa mau tahu dengan apa yang seorang gadis sedang rasakan saat itu. Hujan tetap turun, Adis mulai berlari cepat menuju rumahnya yang hanya tinggal beberapa belokan lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rantai Hitam
Action"nggak adil, semua yang ku sayangi telah hilang karena keegoisan seseorang. apa sekotor itu cara untuk memuaskan dahaga para tikus kantor? aku muak dengan tingkah laku mereka, aku nggak akan tinggal diam, aku pastikan mereka nggak akan berkeliaran d...