Luka Baru

18 4 0
                                    

Jam tujuh pagi Adis sedang menata makanan untuk sarapan pagi ini di meja makan, dan makanan sudah siap. Ia berjalan ke dalam untuk memanggil ibunya, ia berdiri di depan pintu kamar ibunya dan mengetuk pintu.

"bu? Ibu masih tidur? Sarapan udah siap" Adis menunggu jawaban tapi tidak ada suara apapun.

"bu?" sahut Adis masih berdiri di depan pintu.

Rasa khawatir kemudian menyerang benak Adis, ia takut sesuatu terjadi pada ibunya. Kemudian ia membuka pintu kamar ibunya perlahan-lahan, Adis kaget melihat ibunya tergeletak dibawah ranjang. Adis kemudian segera menghampiri ibunya, wajahnya terlihat pucat tapi ibunya masih bernafas. Adis panik, keringat dingin keluar dari pori-pori kulitnya. Akhir-akhir ini memang kondisi ibunya mulai memburuk, itu karena pengobatan rutinnya dihentikan karena keterbatasan uang yang Adis miliki sekarang. Ia baru mendapat gaji kemarin, jadi ia berniat membawa ibunya ke rumah sakit hari ini.

"bu?.. ibu?" Adis benar-benar khawatir, ibunya tidak sadarkan diri. Dia tidak menjawab panggilan Adis.
Adis memanggil ambulans dan membawa ibunya ke rumah sakit, ibunya dibawa oleh para perawat menuju ruang UGD. Adis berlari di lorong-lorong sambil menatap ibunya yang tergeletak lemah di tempat tidur yang di dorong oleh beberapa perawat. Rasa takut muncul di benak Adis, ia takut ibunya akan pergi selamanya meninggalkan Adis.rasa takut itu membuat sekujur tubuhnya menegang, darah ditubuhnya mengalir lebih cepat. Jantungnya bahkan berdebar-debar kencang. Adis terhenti di depan ruang UGD, mereka pasti tidak mengizinkannya masuk. Ia hanya menatap ibunya di balik kaca kamar. Dokter sedang melakukan pertolongan pada ibunya, perasaan Adis kacau. Ia sama sekali tidak bisa tenang, rasa khawatir benar-benar menyerang dirinya.

"Ya Allah aku mohon selamatkan nyawa ibuku" ucapnya dalam ketakutannya.

Adis duduk di bangku yang ada didepan ruangan. Hatinya tidak henti mengucapkan doa, apapun yang terjadi Adis tidak ingin kehilangan ibunya. Ibu yang ia sayangi, yang selalu menayanginya tanpa syarat apapun. Adis menggenggam kedua tangannya erat di dada, kakinya tidak berhenti bergetar. Ayahnya dipenjara, dan kini ibunya berada diantara hidup dan mati.
Adis duduk di depan ruang UGD dengan hati gelisah selama satu jam. Kemudian dokter keluar dari ruangan dan menatap Adis. Adis berdiri menghampiri dokter, berharap berita baik yang di dengarnya.

"dokter? Apa ibu saya baik-baik saja" tanya Adis lirih.

"saya sudah melakukan pertolongan terhadap ibu anda, tapi ibu anda masih dalam kondisi kritis. Saya rasa penyakitnya sudah semakin parah"
"lalu bagaimana sekarang?" tanya Adis panik.

"ibu anda masih tidak sadarkan diri, saya sarankan kita tetap berdoa agar kondisi ibu anda membaik. Tapi keputusan tetap ada di tangan Tuhan, dan kita harus selalu menerimanya dengan hati lapang" jawab dokter itu kepada Adis, perkataannya membuat Adis merinding.

"a.. apa saya boleh masuk ke dalam?" tanya Adis.

"ya silahkan, perawat akan selalu berjaga di dalam. Saya permisi dulu" sahut dokter itu, kemudian melangkah pergi meninggalkan Adis yang berdiri kaku di depan ruangan.
Adis melangkah ke dalam ruangan dengan hati berat dan tenggorokan yang tercekat, seorang perawat sedang membetulkan selang infus yang tehubung ke tangan ibu Adis. Ibunya terbaring, wajahnya pucat, lemas tidak berdaya, hanya dadanya naik turun dengan lemah. Hati Adis teriris begitu dalam, menatap wajah orang yang paling ia cintai di dunia ini.

Matahari semakin tenggelam dan hari mulai berganti malam, Fiko menyalakan lampu-lampu minimarket di depan. Ia bekerja menggantikan shift Adis. Fiko mendapat pesan dari Adis, isinya permintaan maaf karena tidak bisa bekerja. Ibu Adis dibawa ke rumah sakit, Fiko tahu Adis hanya tinggal berdua dengan ibunya. Ia ingin menemani Adis di rumah sakit, tapi justru ia harus tetap bekerja di minimarket.

Rantai HitamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang