Adis bangun di pagi hari, ia menyiapkan sarapan untuk pagi hari di dapur. Meski ibunya masih bisa untuk memasak, tapi Adis merasa khawatir ketika ibunya memasak. Ia takut saat memasak, terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Jadi Adis bersikeras untuk memasak sendiri, ibunya hanya membantu seadanya saja di dapur. Ibu Adis merasa sangat sedih dengan keadaan keluarganya sekarang, terutama Adis. Tapi tidak sedikitpun Ibu Adis menyesal, ia bersabar dan bersyukur. Ia masih memiliki anak yang tetap mau berusaha menanggung beban keluarga yang seharusnya bukan saatnya ia tanggung sendiri. Semua pikiran itu membuatnya termenung sesaat di meja makan. Sedangkan Adis membereskan piring-piring kotor di meja makan bekas sarapan pagi ini."bu?" Adis menatap ibunya yang sedang melamun.
"eh, iya. Kenapa?" ibu Adis tersadar bahwa Adis memanggilnya.
"ibu kenapa?" Adis jadi khawatir melihat ibunya.
"nggak, ibu nggak apa-apa" kata ibunya sambil memaksakan senyum.
"ibu kepikiran ayah?" tanya Adis kemudian.
Ibunya tidak menjawab, hanya menatap Adis dengan tatapan yang rapuh. Adis menangkap perasaan ibunya lewat tatapan ibunya. Kemudian ibu Adis memalingkan wajahnya, terlihat bahwa ia menarik nafas seolah menahan rasa tercekat di tenggorokannya. Adis menghampiri ibunya yang sedang duduk dan berpaling ke arah samping. Adis melihat air mata ibunya yang kemudian buru-buru dihapus oleh ibunya. Adis tersentuh, ia berlutut dan memegang kedua tangan ibunya.
"bu.. Adis juga kangen sama ayah, tapi Adis juga yakin meski ayah nggak ada disini bersama kita. Kita pasti baik-baik aja, ibu jangan sedih lagi masih ada Adis disini" kata Adis tersenyum menatap ibunya.
"tentu saja Adis, ibu terlalu terbawa perasaan. Ibu memang teringat ayah kamu, tapi nggak apa-apa"
"sekarang mungkin kita hanya bisa berdoa untu kebaikkan ayah, semoga ayah cepat dibebaskan dari tuntutannya"
"pasti sayang, doa selalu ibu panjatkan setiap saat untuk ayah dan keluarga kita" Adis mengangguk senang mendengar perkataan ibunya, setidaknya Adis dan ibunya tidak harus selamanya larut dalam kesedihan. Ibu Adis menatap putrinya yang sudah tumbuh menjadi gadis yang kuat. Ia baru sadar bahwa putrinya sudah bukan anak kecil lagi, gadis yang selalu berdiri tegar membantu ibunya dan menanggung beban kepedihan yang begitu menyakitkan. Ibu Adis terharu, air matanya mengalir lagi. begitu bersyukur ia memiliki anak yang luar biasa seperti Adis.
"bu, kenapa ibu menangis lagi?"
"ibu cuma terharu nak, kamu sudah tumbuh dewasa menjadi gadis yang luar biasa, kuat menghadapi segalanya, dan begitu bertanggung jawab.. gadis kecil ibu sudah tumbuh besar, waktu begitu berlalu begitu cepat" sahut ibu Adis pelan.
"itu karena Adis memiliki ibu yang hebat, mendidik Adis hingga jadi seperti sekarang ini" kata Adis sambil memeluk ibunya.
"maaf nak, dengan keadaan ibu seperti ini ibu nggak bisa membantu kamu. Malah menambah beban lebih lagi" Adis melepas pelukannya pelan, dan menatap ibunya.
"bu. apa yang Adis lakukan sekarang itu sama sekali nggak sebanding dengan apa yang udah ibu lakukan untuk Adis selama ini. Susahnya ibu mengandung Adis, sakit yang luar biasa ibu tahan hanya demi membuat Adis bisa lahir di dunia ini, dan betapa sabarnya ibu membesarkan Adis selama delapan belas tahun. Itu adalah hal luar biasa yang pernah Adis rasakan selama ini, jadi sekarang cuma ini yang bisa Adis lakukan untuk ibu"
Air mata ibu Adis mengalir lagi lebih banyak, tidak disangka kalimat seperti itu akan ia dengar dari putrinya sendiri. Dalam hati ia benar-benar sangat bersyukur telah dianugerahkan anak yang begitu luar biasa berbakti untuk orang tuanya. Ia memeluk putri satu-satunya itu dengan penuh kasih sayang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rantai Hitam
Action"nggak adil, semua yang ku sayangi telah hilang karena keegoisan seseorang. apa sekotor itu cara untuk memuaskan dahaga para tikus kantor? aku muak dengan tingkah laku mereka, aku nggak akan tinggal diam, aku pastikan mereka nggak akan berkeliaran d...