Jilid 3

3.6K 51 0
                                    

Kembali kepala penjahat itu tertawa bergelak. "Engkau seorang wanita yang cantik sekali, untung bertemu denganku sehingga engkau akan mati tanpa ternoda. Kalau engkau bertemu dengan Pat-pi Mo-ko, jangan harap dapat mati seenak itu, tentu engkau akan dipermainkannya sampai rusak binasa. Ha-ha-ha! Hayo serbu...!" Dia memberi aba-aba lagi. Puluhan orang itu memperketat kurungan dan mereka mulai mendekat dengan senjata ditodongkan.

Tentu saja ancaman maut yang bagi orang lain tentu akan menimbulkan kengerian itu, bahkan nampak menggelikan bagi pasangan pendekar yang memiliki kepandaian amat tinggi itu. Thian Sin membuang sikapnya yang pura-pura takut tadi dan diapun tersenyum.

"Baiklah, kalian mencari penyakit sendiri!" Dia dan Kim Hong masih berdiri dengan sikap seenaknya saja, sama sekali tidak memasang kuda-kuda seperti biasanya ahli silat kalau menghadapi ancaman lawan menghadapi ancaman begitu banyak orang. Mereka hanya saling pandang dan keduanya mengerti apa yang mereka harus kakukan, yaitu menghajar para pengepung itu habis-habisan tanpa melakukan pembunuhan.

Beberapa tahun yang lalu, Ceng Thian Sin terkenal dengan julukan Pendekar Sadis. Dari julukannya ini saja mudah diduga bahwa dia mempunya hati yang amat kejam terhadap para penjahat. Dia amat membenci para penjahat sehingga setiap kali bentrok dengan tokoh-tokoh penjahat, dia bukan hanya menurunkan tangan sakti membunuhnya, akan tetapi menyiksanya terlebih dahulu dengan cara-cara yang amat sadis. Dia memperoleh kenikmatan dengan menyiksa orang-orang yang dianggapnya jahat itu sebagai peluapan rasa dendamnya yang amat besar terhadap para penjahat. Semenjak kccil, dia telah mengalami banyak kesengsaraan hidup sebagai akibat dari perbuatan para penjahat sehingga dia menaruh dendam yang amat hebat. Adapan Toan Kim Hong, wanita muda yang cantik jelita itu, tadinya pernah menyamar sebagai seorang nenek yang berjuluk Lam-sin (Malaikat Selatan) yang merupakan seorang di antara empat datuk kaum sesat. 

Iapun amat ganas dan kejam, membunuh lawan dengan tangan dingin (baca tentang Pendekar Sadis dan Lam-sin dalam cerita Pendekar Sadis). Akan tetapi, semenjak keduanya saling bertemu, saling jatub cinta, kemudian bersama-sama menghadapi para pendekar sakti, sampai akhirnya mereka berhadapan dengan para pendekar Cin-ling-pai dan Lembah Naga yang mereka cinta, puja dan takuti, keduanya telah berubah. Mereka berdua kini tinggal di Pulau Teratai Merah dan tidak lagi menuruti hati yang ingin membasmi para penjahat. Bahkan keduanya berjanji bahwa mereka akan menghadapi penjahat-penjahat dengan keadilan, bukan lagi dengan kekejaman. Karena inilah maka sekarang, biarpun mereka diancam oleh para penjahat dan bahkan dicurangi, mereka yang saling pandang itu maklum akan isi hati masing-masing, yaitu bahwa mereka masih ingat untuk tidak membunuh orang walaupun mereka harus menghajar kumpulan penjahat yang kejam itu. Karena jumlah mereka yang terlalu banyak dan tidak mungkin tiga puluh orang itu maju serentak melakukan serangan, maka kini begitu gerombolan itu bergerak, hanya ada delapan orang yang dapat maju menggerakkan senjata mereka menyerang Thian Sin dan Kim Hong yang kelihatan masih bersikap enak-enakan dan bagi para penjahat itu dianggap sebagai makanan lunak. 

Akan tetapi, begitu mereka delapan orang itu maju, tiba-tiba saja nampak dua bayangan berkelebatan dan delapan orang itu merasa seperti disambar halilintar! Delapan orang itu sendiri tidak tahu apa yang telah terjadi dan selamanya mereka itu takkan sanggup menceritakan apa yang telah menimpa mereka. Tadinya mereka dengan ganas menyerbu dan menyerang pemuda dan gadis itu, akan tetapi tiba-tiba kedua orang muda itu lenyap dan sebagai gantinya, mereka hanya melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu dunia tiba-tiba menjadi gelap bagi mereka! Ketika mereka siuman kembali, mereka telah mendapatkim tubuh mereka malang melintang, senjata mereka entah terbang ke mana dan tubuh mereka luka-luka, ada yang benjol-benjol kepalanya, ada yang patah tulang lengannya, ada pula yang memar-memar badannya, ada yang pingsan ada pula yang hanya nanar saja. Pendeknya, secara aneh dan dalam waktu segebrakan saja, delapan orang itu telah terlempar ke sana sini dan terbanting tanpa dapat bangun kembali! Bahkan di antara mereka ada yang tidak sempat lagi berteriak karena sudah keburu tidak sadar.

Harta Karun Jenghis KhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang