Jilid 2

3.5K 49 0
                                    

"Tangkap dia, geledah seluruh rumah!" bentak si codet kepada teman-temannya dan seorang di antara mereka menubruk kakek Ciang Gun, merobohkannya dan mengikat kaki tangannya. Isteri petani itu juga diikat kaki tangannya dan empat orang itu lalu menggeledah-geledah pakaian yang mereka pakai sampai hampir menelanjangi mereka. 

Setelah tidak berhasil menemukan kunci emas pada tubuh mereka, empat orang itu menggeledah seluruh tempat di dalam rumah itu, mengobrak-abrik semua barang. Akan tetapi tetap saja kunci itu tidak dapat mereka temukan. Mengertilah si codet bahwa kunci emas itu tentu disembunyikan oleh suami isteri itu di suatu tempat yang sukar untuk dapat dia temukan tanpa pemberitahuan mereka berdua.

"Hayo katakan, di mana kunci emas itu!" si codet menghardik sambil menjambak rambut isteri petani itu. Akan tetapi wanita tua yang sudah nekat ini memandang penuh kebencian dan ia meludah.

"Cuhh! Engkau boleh membunuh kami, akan tetapi jangan harap dapat menemukan kunci itu!"

"Plak! Plakk!" Dua kali si codet menampar lalu meninggalkan wanita itu yang berdarah pada mulutnya akan tetapi yang sedikitpun tidak mengeluh. Kini codet kejam itu menghampiri Ciang Gun.

"Hayo katakan, di mana kunci itu? Atau engkau lebih senang melihat isterimu kusembelih di depan matamu?"

"Suamiku, jangan katakan! Jangan kira dia akan melepaskanmu kalau kunci kauserahkan. Kita serahkan, tetap saja kita akan mereka bunuh. Biarlah kita mati, berkorban demi anak kita. Jangan beritahukan, jangan serahkan kunci!"

"Perempuan keparat!" Si codet meninggalkan petani itu, melompat ke dekat si wanita dan menendang tubuh yang terbelenggu itu sampai bergulingan dekat suaminya. Kakek Ciang Gun memejamkan matanya dan menangis.

"Kuatkan hatimu, suamiku. Paling-paling kita mati, akan tetapi mereka ini, binatang-binatang buas ini takkan dapat merampas kunci kita, demi untuk Kim Su... aughhh..."

Sebuah tendangan mengenai dadanya dan wanita itu tak mampu bicara lagi. Si codet mencabut goloknya dan memodongkan goloknya pada leher wanita yang sudah setengah pingsan itu.

"Petani busuk, engkau lebih memberatkan kunci keparat itu dari pada nyawa isterimu? Lihat ini!" Ujung golok itu menggores sedikit kulit leher. Darah muncrat membasahi leher dan baju. Melihat ini, kakek Ciang Gun kembali memejamkan matanya dan dia tidak mampu bersuara lagi, hanya menggeleng-geleng kepala keras-keras sambil menangis.

"Hi-hi-hik! Kalian anjing-anjing busuk, tak mungkin dapat memaksa suamiku. Dia adalah seorang gagah, benar, suamiku seorang gagah perkasa yang tak takut mati!"

Ujung golok itu menusuk dada dan kembali darah muncrat.

"Petani Ciang, sekali lagi, kunci emas itu atau nyawa isterimu?"

"Suamiku, kutunggu engkau di akhirat..." Isterinya masih sempat menjerit sebelum golok itu membacok lehernya dan iapun tewas seketika.

Blarpun dia memejamkan kedua matanya, petani itu dapat mengikuti penderitaan isterinya melalui pendengarannya dan telinga pulalah yang memberi tahu kepadanya akan keadaan isterinya. Dia membuka matanya dan melihat isterinya menggeletak dengan mandi darah dan tidak bergerak-gerak lagi. Dia hanya dapat merintih dan memanggil nama isterinya sambil menangis.

"Lihat, isterimu mati karena membandel. Hayo kaukatakan, di mana kunci itu!" Si codet membentak.

"Kalian bunuhlah aku! Bunuhlah aku...!" Kakek Ciang Gun berteriak-teriak dan menangis. 

Si codet menendang dan memukulinya, akan tetapi tidak sampai membunuhnya karena para penjahat ini maklum bahwa mayat tidak mungkin dapat memberitahukan di mana adanya kunci emas yang mereka cari-cari itu. Bahkan atas isyarat si codet, mereka lalu meninggalkan kakek Ciang Gun setelah membebaskannya dari belenggu, membiarkan kakek itu menangisi isterinya. 

Harta Karun Jenghis KhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang