Jilid 10

2.6K 43 0
                                    

Thian Sin mengerti bahwa tangis ini bukanlah air mata buaya, bukan tangis buatan untak menundukkan hatinya, melainkan tangis yang timbul dari hati duka dan menyesal. Maka diapun merasa kasihan, lalu merangkul dan menggunakan tangannya untuk mengelus rambut kepala yang agak kusut itu. Sentuhan tangannya, rabaan dan elusan tangan yang lembut itu sama sekali tidak mengandung gelora berahi, melainkan rasa iba ygng tulus dan hal ini terasa oleh In Bwee yang menjadi makin terharu.

"Maafkan aku... ah, Ceng-taihiap, maafkan aku..." Demikian ia berbisik-bisik di antara isaknya.

Thian Sin mendekap tubuh itu, dipeluknya dengan erat, diciumnya rambut yang harum itu dan diapun berkata. "Menangislah sepuasmu, kemudian kalau engkau suka, ceritakan padaku apa artinya semua ini, In Bwee."

Gadis itu tidak menjawab, menghabiskah isaknya di atas dada pemuda itu, membasahi baju Thian Sin dengan air matanya dan air hidungnya. Setelah hatinya yang tadinya terhimpit itu terasa lapang, seolah-olah himpitannya terbawa keluar oleh air mata, iapun mulai bicara.

"Taihiap, aku tahu bahwa engkau adalah Pendekar Sadis."

Tentu saja kalimat pertama ini amat mengejutkan Thian Sin, sungguhpun tidak terlalu mengherankan karena memang sebagai Pendekar Sadis dia pernah menggegerkan kota raja sehingga sedikit banyak tentu ada juga yang mengenalnya. Dia hanya terkejut oleh pernyataan tiba-tiba ini karena tadinya dia tidak pernah menyangka bahwa gadis ini mengenalnya pula. Karena kagetnya, dia memegang kedua pundak gadis itu dan mendorongnya agar dia dapat memandang wajahnya.

Wajah itu masih pucat dan basah, dan matanya agak kemerahan, memandang sayu. "Taihiap, anak buah suhu mengenalmu dan aku diberi tahu oleh suhuku..."

"Suhumu...?" Kini Thian Sin mengerti. Keluarga gadis itu tidak ada sangkut pautnya dengan rahasia harta karun Jenghis Khan, akan tetapi di sana ada suhunya!

"Ya, suhuku... juga pamanku..."

"Ah, sekarang aku mengerti! Tentu dia itu Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng, bukan?"

Gadis itu menarik napas panjang dan mengangguk. "Taihiap, aku bertugas untuk menundukkanmu dengan rayuan, aku terpaksa... akan tetapi... mana mungkin hal itu kulakukan terhadapmu yang telah kukagumi sejak kita pertama kali bertemu?"

Thian Sin menarik tubuh itu dan kembali memeluknya, diam-diam tersenyum senang. "Nona... eh, In Bwee, adik yang manis, di antara kita telah terasa adanya suatu ikatan persahabatan yang akrab. Mana mungkin kita saling menundukkan? Engkau telah tahu bahwa aku dahulu memang pernah berjuluk Pendekar Sadis, julukan yang sebenarnya kubenci. Dan tentu engkau tahu pula bahwa aku datang ke sini sebagai wakil keluarga Ciang yang malang itu, untuk menemukan kembali peta harta karun Jenghis Khan yang dirampas dari tangan Ciang Kim Su. Nah, engkau telah tahu akan semua keadaanku, maka sebagai sahabat, sudah adil kalau akupun mengetahui latar belakang semua perbuatanmu ini."

Sampai lama In Bwee berdiam diri dalam pelukan Thian Sin. Akhirnya pemuda itu mengangkat mukanya dan mencium bibir itu. Ciuman yang halus dan mesra, bukan paksaan seperti tadi dan sekali ini, terdengar In Bwee mengeluh dan memejamkan kedua matanya, merasa seperti dihanyutkan dan tenggelam ke dalam kemesraan. Setelah Thian Sin melepaskan ciumannya, In Bwee menarik napas panjang dan menyembunyikan mukanya di dada pemuda itu.

"Taihiap... betapa mudahnya bagiku untuk jatuh cinta kepada seorang pria seperti engkau. Akan tetapi aku tahu bahwa engkau dan enci Kim Hong saling mencinta, hidup sebagai suami isteri..."

"Hemm, pamanmu itu agaknya menyebar banyak mata-mata."

"Benar, aku tahu dan aku iri sekali kepada enci Kim Hong. Betapa bahagianya mempunyai seorang suami atau kekasih sepertimu, taihiap. Aku... aku seorang wanita yang malang, yang ternoda dan terhimpit..."

Harta Karun Jenghis KhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang