Jilid 8

3.1K 40 0
                                    

"Tidak... aku tidak berani... engkau tidak tahu betapa lihainya pamanku." Gadis itu berkata dengan muka pucat dan mata liar memandang ke kanan kiri. "Engkau pergilah, Siang-ko, pergilah dulu... biarkan aku berpikir dengan matang... kedatanganmu terlalu tiba-tiba. Besok... besok atau lusa kita bertemu lagi, di sini... malam-malam begini... sekarang kau pergilah..."

Kok Siang menghela napas, tidak berani memaksa. "Baiklah, akan tetapi ingatlah selalu bahwa di dunia ini ada Bu Kok Siang yang akan melindungimu dengan taruhan nyawa, yang akan tetap mencintamu dan tidak memperdulikan riwayatmu yang sudah lalu. Nah, selamat tinggal, sampai jumpa besok atau lusa malam."

"Baik, Siang-ko... kalau engkan melihat lampu merah di pondok ini, jendelanya terbuka, berarti aku menantimu di sini..."

Pemuda itu mengangguk, menggenggam kedua tangan itu, kemudian mcloncat keluar dan lenyap dalam kegelapan malam. In Bwee memandang ke arah lenyapnya pemuda itu dengan mata sayu, kemudian termenung-menung dan akhirnya iapun menangis lagi sendirian, menahan isaknya agar tidak menimbulkan suara. Peristiwa yang baru saja terjadi itu terlalu hebat baginya. Dan ia sama sekali tidak tahu bahwa ada bayangan yang mendekatinya, kemudian terdengar suara orang di balik jendela.

"Hemm, engkau diam-diam telah mempunyai pacar, ya? Baik, selesaikan tugasmu sampai berhasil dan engkau akan menikah dengan pacarmu itu, aku yang akan membujuk orang tuamu agar setuju. Akan tetapi kalau engkau mengkhianatiku, pacarmu itu akan kubunuh dan rahasiamu akan kuumumkan tidak hanya kepada ayah bundamu, akan tetapi kepada semua orang!"

"Paman...!" In Bwee berseru kaget sekali akan tetapi bayangan itu telah berkelebat lenyap dan In Bwee hanya dapat merenung dengan muka pucat. Kemunculan guru atau pamannya yang lihai itu seketika membuyarkan harapan dan khayalnya yang timbul bersama munculnya pemuda sastrawan itu. Sedikit harapan itu bagaikan awan tipis tersapu badai.

***

"Bu-kongcu...! Tunggu sebentar...!"

Bu Kok Siang yang sedang berjalan seorang diri di pagi hari itu, tentu saja mendengar teriakan suara wanita ini dan diapun cepat berhenti melangkah dan menoleh. Wajahnya segera berseri dan bibirnya tersenyum ketika dia melihat siapakah wanita yang memanggilnya itu. Kiranya yang memanggiinya itu adalah wanita cantik yang telah dikenalnya di dalam rumah makan, yang bernama Toan Kim Hong!

Setelah wanita itu tiba di depannya, Kok Siang cepat mengangkat kedua tangan memberi hormat sambil berkata, "Ah, kukira siapa, tidak tahunya nona Toan. Dan harap jangan menyebutku kongcu (tuan muda), membuat aku menjadi malu saja."

"Selamat pagi, Bu... twako! Biar kusebut twako, biarpun mungkin aku lebih tua. Engkau tahu, wanita selalu ingin dianggap lebih muda." kata Kim Hong tersenyum.

Kok Siang tertawa. "Dan memang nampaknya engkau jauh lebih muda dari pada aku, nona. Sepagi ini engkau hendak ke manakah? Dan mengapa nona sendirian saja? Mana saudara Ceng Thian Sin yang gagah perkasa itu?"

"Dia thiggal di kamarnya di hotel. Aku memang sengaja keluar hendak mencarimu."

Pemuda itu mengangkat kedua alisnya dan memandang heran. "Lihiap... eh, nona mencari aku? Ya nasib mujur! Sungguh beruntung sekali. Ada keperluan apakah gerangan...?"

Kim Hong tertawa, manis sekali. "Kita sudah saling berkenalan, apakah kalau tidak ada urusan penting tidak boleh mencari dan mengunjungi? Tadi aku lewat di hotelmu dan engkau tidak ada, lalu kulihat engkau berjalan sendirian, seperti orang tergesa-gesa, maka kupanggil. Apakah aku mengganggumu? Kalau begitu biarlah aku pulang lagi saja."

"Eh, eh... nanti dulu. Tentu saja aku girang dapat bertemu denganmu, nona. Akupun belum sempat mengunjungi rumah penginapan kalian, dan kebetulan berjumpa di sini. Nah, ke mana kita pergi sekarang untuk merayakan pertemuan ini?"

Harta Karun Jenghis KhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang