Jimin mengendarai mobilnya pelan. Menembus sepinya jalanan kota Seoul dini hari. Arlojinya menunjukkan pukul 2 pagi. Sejak terbangun karena mimpinya ia sukar memejamkan matanya kembali, entah sudah berapa kali dan berapa banyak cara ia lakukan untuk tidur namun nihil. Jimin memutuskan untuk berkeliling mencari ketenangan. Jadi disinilah ia sekarang, menepikan mobilnya di bibir pantai. Melangkah keluar menyandarkan tubuhnya pada sisi mobil dan menikmati hembusan angin dingin menerpa wajahnya. Ia menutup mata dan melipat tangan di depan dada, menghela nafas panjang lalu kembali memandang gulungan ombak yang menderu keras. Matanya yang tajam melembut sedih. Kantung mata dan dahi yang sedikit berkerut adalah bukti samar tubuhnya sangat letih. Otaknya pun lelah. Beban di bahunya terasa kian memberat setiap tarikan nafas yang ia ambil. Rasa sakit yang menohok hatinya terasa semakin nyata tiap detiknya. Seandainya dulu ia tak kabur dari rumah dan bertemu Yoongi. Seandainya dulu ia bertahan lebih lama dengan teriakan dan pertengkaran kedua orang tuanya. Seandainya dulu ia mengikuti saran ayah Jungkook untuk pulang. Seandainya dulu ia tak terlena kasih sayang ibu Taehyung. Semuanya tak akan jadi begini. Ia tak akan merasa begini kehilangan dan menyesal. Ia tak akan merasa sebenci ini dengan darah yang mengalir di tubuhnya, darah yang membuktikan ia anak asli dari manusia kejam semacam ayahnya. Ia ingin pulang. Pulang ke keluarga yang mau menerimanya dengan tulus. Pergi jauh lalu kembali ke rumah dan bermain hingga larut dengan ketiga saudaranya. Namun semuanya hanya masa lalu, Jimin sadar akan itu.
Ya, itu dulu. Aku belum bisa menemui kalian. Melihat kalian dari kejauhan sudah cukup untukku. Setidaknya, tunggulah hingga aku selesaikan urusanku.
.
.
.
.
.
.
.
Esok paginya Yoongi mogok makan. Bayangan darah yang menggenang di depan matanya masih menghantui kepalanya. Kedua pria disana dibuat uring-uringan saat melihat Yoongi tak mau makan dan bicara. Dengan berbagai cara dan rayuan mereka membujuk wanita itu untuk tak bersikap begini. Jujur, mereka takut Yoongi malah trauma dan sakit jiwa. Kan bahaya.
"Yoongi, ayo dong makan. Jangan begini. Jungkook sudah susah-susah membuatkan makanan walau hangus"
"Cih, setidaknya aku masih lebih baik darimu yang cuma bisa mengupas bawang"
"Masih bagus aku mau membantumu, sialan"
"Yoongi, apa aku harus menciummu agar kembali hidup?"
Oh, tidak. Itu hanya modus hormon Jungkook. Taehyung melirik tak suka pada Jungkook yang hanya dibalas acuh dengan mengangkat bahu. Pria itu hendak membuka mulutnya lagi sebelum satu tamparan kecil mendarat di pipinya. Ia memandang tak percaya pada sang pelaku sembari memegangi pipi kirinya.
"Kalian tuh ganggu aja! Apalagi kamu, Jungkook aku tau kamu lajang yang kurang sentuhan. Dicium kamu jijik tau gak?!"
Taehyung tertawa keras hingga air mata menumpuk di pelupuk matanya. Jungkook belum percaya apa yang terjadi masih terdiam kaku di posisinya. Yoongi bicara dengan bahasa yang kurang baku, menampar wajah tampannya, mengolok status lajangnya, dan dengan kasar menolak ajakan ciumannya. Bagus, apa kalian mendengar sesuatu? Itu suara hati Jungkook yang sedikit retak.
"Lagipula aku baik-baik saja. Aku hanya masih terbayang yang semalam. Dan lagi, hanya mogok makan pagi tak akan membunuhku"
KAMU SEDANG MEMBACA
Between Us
FanfictionCerita rumit dan manis pahitnya hidup Min Yoongi, Kim Taehyung, Jeon Jungkook, dan Park Jimin. Rated M for bad language and mature scenes.