(CHAPTER 4) Bumerang Rumah Indri

156 105 53
                                    

Wanita butuh pengertian, kelembutan dan kenyamanan dari seorang Pria, Wanita juga bebas berbicara tentang suara hatinya. Perlu juga untuk Pria tidak menyakiti wanita dengan ucapan, apalagi dengan perbuatan.


Sudah terlihat bayangan Rumah Indri dengan cat berwarna merah muda itu, rumahnya khas ala rumah di komplek – berjejer bertetanggan saling berdekatan, rumah itu sudah ada di depan mata kami, lelah dirasa oleh kami ; sempyongan, pusing dan ngantuk. Ingin rasanya kami buru-buru numpang menidurkan badan yang lelah di sofa yang empuk milik Indri. Saat sudah sampai di rumah Indri, kami pun segera menjenakan kaki di depan rumahnya. Nampak sepi sekali, beberapa kali kami ucapkan salam tapi tidak ada yang menjawab, yang menjawab hanya suara air mancur saja di kolam teras rumahnya, serta mungkin ikan-ikan yang ada di dalam kolam yang turut menjawab salam kami.

"Dri keluargamu pada kemana kok sepi?" tanya kami agak sedikit bingung dan penasaran.

"Gatau, biasanya ada mamah." Kata Indri sambil celingak-celinguk kebingungan juga.

Indri membukakan pintu rumahnya yang tidak terkunci itu, walau kebingungan masih menyelubunginya namun dia mempersilahkan kami masuk walaupun belum izin dengan mamah nya.

"Kalian duduk dulu ya aku cari mamah dulu ya."

Terlihat Indri menyusuri tiap sudut rumahnya, sambil memanggil "mah-mah, mamah dimana?", terlihat juga raut mukanya yang kebingungan, karena tak biasanya mamah Indri menghilang tak karuan, sebelumnya tak ada kabar pemberitahuan dari mamahnya kalau dia akan pergi. Ah apa mungkin mamah ke warung sebelah.

"Assalamualaikum?" semilir suara khas mamah Indri terdengar dari luar.

Indri menghampiri dan memeluk mamanya di luar,

"Mamah, mamah kemana aja tadi aku sempet bingung, gak biasanya mama gada dirumah,"

"Mamah tadi ke warung sebelah beli sayuran." Indri memandang mamanya datar, kecurigaanya ada dalam benak Indri karena gaya bicara mamahnya yang tak biasa.

"Mamah habis nangis ya? Kenapa mah? Cerita ke aku !" Indri memaksa ingin tau apa yang sedang difikirkan dan terjadi oleh mamahnya itu, dan memang biasanya kebatinan anak perempuan dengan sang ibu itu sangat kuat sehingga Indri mampu merasakan perihal yang tidak mengenakan yang sedang dilihat di depan mamanya.

"Gak apa-apa kok nak, beneran deh mama gak apa-apa," perempuan cantik separuh baya itu sangat berusaha terlihat kuat dan sabar berusaha menyembunyikan kesedihan yang dialaminya.

Indri pun coba mempositifkan fikirannya dari apa yang sedang terjadi. Mungkin cuman perasaan.

Hiruk pikuk di luar ruang tamu itu didengar oleh kami. Walaupun sebenarnya kami tidak nguping tapi terdengar sampai dalam. Kami yang belum sempat berkenalan dengan mamah Indri memasang muka melongo, sedikit gelisah senggal senggol sikut pun tak terhindarkan, karena kami rasa ada yang tidak enak ditengah perbincangan keluarga itu.

Dalam ruang tamu yang kami tempati, terlihat Fitri si anekdot itu tetap menggendol keripik singkong yang ada di meja rumah Indri, menurutnya keripik singkong itu makanan yang paling di sukai dari yang lainya. Padahal sebelumnya belum ada perizinan untuk makan.
"Fit gatau malu dasar bocah laper," senggol Indah dengan wajah merongos memukul paha Fitri.
"Bodo amat dah, gue gak mau jaim," tandas Fitri serasa tidak punya malu.

"Ussttt ya gak gitu-gitu juga kali berantemnya," ledek Uju semeringah.

Ditengah becandaan dan ledek-ledekan antara Fitri dan Indah, mamah Indri masuk melewati kami yang tengah bersantai di ruang tamu. Dia melirik dan menanyakan tentang kami kepada Indri.

SAHABAT SEPEDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang