23. Korban Asmara

3.2K 55 2
                                    

Siang dan malam Suma Bing menempuh perjalanan menuju ke Bu-kong-san. Bu-kong-san adalah gunung-gemunung yang ber-lapis2 dan bersusun menjulang tinggi keangkasa.
Tidak perlu dipersoalkan apakah Bu-siang-sin-li si manusia aneh berusia seabad itu masih hidup didunia fana ini atau tidak. Hanya untuk mencari gua tempat dia semayam diantara sekian luas hutan dan dataran tinggi serta lembah2 dialas pegunungan yang belum pernah dijajaki manusia, seumpama mencari jarum dilautan. Sejak beranjak memasuki pegunungan Suma Bing langsung memanjat kepuncak tertinggi melalui jurang2 dan hutan2 lebat, tak mengenal lelah ia menjelajah dan mengarungi kesegala penjuru, tidak ketinggalan tempat2 yang mencurigakan telah diselidiki. 

Satu hari — dua hari — tiga hari — tahu2 sebulan sudah berlalu dengan cepat tanpa terasa. Selama ini sedikitpun Suma Bing belum mendapat hasil yang diharapkan. Keputus-asaan sudah mulai merangsang benaknya.

Hari itu Suma Bing tengah menjelajah sampai dipinggir sebuah jurang yang dalam tak terlihat dasarnya, memandangi kabut tebal yang ber-gulung2 didepan matanya ini, terasa seakan dirinya berada di-awang2.

Se-konyong2 sebuah helaan napas panjang yang penuh mengandung kegetiran hati samar2 terdengar dalam kupingnya. Helaan napas itu membuat pendengarannya merasa seakan ia semakin tenggelam kedalam lembah sunyi yang tak berujung pangkal, seumpama pula kepala diguyur air dingin dimusim dingin, gemetar dan membeku seluruh tubuh.

Pandangan Suma Bing menjelajah keempat penjuru, terlihat diatas sebuah batu cadas besar yang menonjol keluar dipinggir jurang sebelah sana, berdiri tegak mematung bayangan seseorang. Dari pakaian yang me-lambai2 dihembus angin pegunungan, tidak perlu diragukan itulah seorang wanita adanya.

Aneh dan mengherankan, dilembah pegunungan diatas batu cadas ini, darimana datangnya seorang wanita yang menghela napas sedemikian sedih memilukan?

Timbul rasa heran dan ingin tahu Suma Bing, per-lahan2 ia menggeremet mendekati. Dari jarak dekat inilah baru ia melihat tegas kiranya itulah seorang wanita setengah umur berambut setengah ubanan, tengah asyik memandang kabut didepannya yang ber-gulung2 mengambang bebas ditengah udara. Dari bangun tubuhnya yang ramping semampai dapatlah dibayangkan pasti semasa mudanya wanita ini adalah seorang gadis yang ayu rupawan.

Lama dan lama sekali kedua belah pihak tetap membisu tanpa buka suara.
Batu cadas dimana wanita setengah ubanan itu berdiri luasnya tidak lebih tiga kaki dibawahnya adalah jurang yang dalam yang tak kelihatan dasarnya, jikalau terpeleset jatuh pastilah tubuhnya akan hancur lebur. Tak urung timbul secercah kekuatiran dalam lubuk Suma Bing.

Akhirnya terdengar wanita tua itu membuka suara juga:
"Siapa itu?" — suaranya dingin tanpa emosi.
"Aku yang rendah Suma Bing!"
"Enyah dari sini!"
Suma Bing melengak, agaknya orang tengah menanti seseorang, maka segera ia bertanya:
"Apakah Cianpwe tengah menantikan seseorang?"
"Apa kau memanggil Cianpwe kepadaku?"
"Apa tidak pantas?"
"Berapa usiamu tahun ini?"
"Belum cukup sembilan belas tahun!"
"Cianpwe? Apakah aku sudah tua?" wanita tua itu bicara dan menggumam sendiri.

Suma Bing tergerak hati, ucapan yang sangat ganjil sekali, dikolong langit ini masa ada orang yang tidak mengetahui usianya sendiri, apa mungkin, dia seorang linglung yang tidak waras pikirannya...
Sejenak merandek lantas wanita tua itu menggumam lagi: "Aku Giok-li Lo-Ci ternyata sudah tua, tidak, aku belum tua, aku tidak boleh tua, mengapa dia tidak kunjung datang juga?"
Suma Bing berpikir: kiranya perempuan tua ini bernama Giok-li Lo Ci, entah siapakah orang yang dimaksudkan itu?
"Lo-cianpwe..."
Mendadak Giok-li Lo Ci berpaling kearah Suma Bing sorot matanya ber-kilat2:
"Siapa kau, darimana kau tahu aku she Lo?"

Suma Bing menjadi bingung, dilihat dari sorot mata orang yang terang dan jernih, pastilah bukan orang yang linglung atau gelap pikiran. Apalagi Lwekangnya sudah sempurna, justru yang mengherankan cara bicaranya membuat orang tidak habis mengerti. Maka segera sahutnya:
"Bukankah kau sendiri yang mengatakan?"
"Apa betul?"
"Lo-cianpwe tengah menanti seseorang?"
"Benar!"
"Siapakah dia"
"Usianya mungkin lebih tua sedikit dari kau..."
"Apakah putramu?"
"Hus, kurang ajar!"
"Siapakah namanya, mungkin aku dapat membantu?"
"Namanya Sia-sin Kho Jiang!"

Pedang Darah Bunga IblisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang