#2 : "Hai, Robby. Apa kabar? Aku baik-baik Saja."

111 4 0
                                    

"Hai, Robby. Apa kabar? Aku baik-baik saja."

Aku tidak tahu, entah untuk berapa kalinya aku membisikannya. Puluhan, ratusan, atau ribuan kali. Semenjak hembusan nafas terakhirnya, tidak ada kalimat lain yang bisa aku ucapkan. Aku memang bisa mendengar apa yang diucapkan orang-orang, tetapi aku tidak tahu apa yang mereka katakan, lebih tepatnya aku tidak peduli, dan aku juga tidak ingin membalas kalimat mereka. jika itu memang ditujukan kepadaku.

Hari ini, Minggu 28 Agustus 2016, adalah hari yang paling berat yang pernah aku alami dalam hidup. Selama hampir satu tahun ini, aku tidak pernah menyiapkan diri untuk hari ini. hari pada saat dia, Robby Fikri Wahyudi, lelaki yang menjadi teman, sahabat, musuh. Seorang kawan yang sangat aku cintai itu pergi untuk selama-lamanya.

Aku teringat kalimat yang dikatakannya kepadaku disaat terakhir itu.

"Hai, Laras. Apa kabar? Aku baik-baik saja, kau jangan khawatir!"

Aku tersenyum dengan air mata tetap menetes. "Hai, Robby. Apa kabar? Aku baik-baik saja." kalimat itu selalu aku ulang lagi dan lagi. Sampai saat ini, ketika pemakaman Minggu pagi yang mendung ini, aku tetap mengucapkannya. Hujan telah turun dengan begitu lebat, aku masih berdiri di depan makam, sambil mengucapkan kalimat itu. Berharap akan ada jawaban yang datang dari langit, atau tetesan hujan. Pertanda! Mungkin itulah yang aku harapkan. Apapun yang bisa membuat aku percaya dia sedang memperhatikanku. Aku hanya ingin memastikan dia baik-baik saja. Apa yang aku lakukan, dan harapkan ini memang bodoh. Tetapi aku tidak tahu lagi apa yang bisa aku lakukan. Jika ini memang tindakan bodoh, biarlah seperti itu.

aku berharap dia mendapatkan kehangatan disana. Disaat terakhir, dia meminta untuk tidak khawatir, maaf aku tidak bisa untuk tidak khawatir. Aku khawatir akan kesendirian dan kedinginan yang dia alami di tempat persemayaman terakhirnya. Jika saja dia bisa memberikan pesan dari alam lain, tentu Robby akan sangat marah. Dia sudah tenang di sana. Justru karena kesedihan ini yang akan menghambat langkahnya untuk meraih ketenangan itu. Andai saja dia bisa mendengar rintihan tangis, dan datang memelukku. Tetapi itu tidak mungkin, seorang yang telah meninggal tidak akan pernah hidup lagi.

Ditengah hujan lebat pagi ini, aku berlutut, menatap nanar dengan tubuh lemah karena kelelahan dan kedinginan ke arah makam Robby. Aku basah kuyup, tubuhku menggigil. Kalimat itu masih aku ucapkan dengan setengah berbisik. Aku masih berharap akan ada balas dari bisikan itu, meski aku tahu bahwa hal itu sama sekali tidak mungkin. Seperti inilah aku kini, mengharap sesuatu yang mustahil, dan aku tahu itu mustahil. Aku masih saja terus berharap.

Tubuhku semakin lemah, pandanganku buram. Butiran hujan masih menghantam kepalaku. Lututku bergetar. Aku merasa tidak sanggup lagi untuk mempertahankan kesadaranku. Tidak tahu, sudah untuk berapa lama aku berada disitu. Lalu, aku mulai kehilangan keseimbangan. Menyerah pada kelelahan yang begitu hebat, aku biarkan tubuhku jatuh begitu saja. Tanah yang tergenangi air menjadi tempat aku berbaring. Aku tidak peduli dengan bagaimana keadaanku yang menyedihkan ini. aku tidak benar-benar peduli dengan apapun lagi. Hingga saat semuanya menjadi gelap, dan begitu dingin. Aku berharap inilah waktuku. Robby akan sangat marah karena kami akan bertemu disana. Biarlah, aku tidak peduli lagi.

Padang
1 April 2017.

Embun Saat Kita BersamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang