#4 : Masa Indah yang Aku Bayar Dengan Kesedihan

73 5 0
                                    

Aku terbangun di atas tempat tidur dalam sebuah kamar. Tangan kananku terasa nyeri. Sebuah jarum tertancap di urat nadi. Jarum itu tersambung dengan sebuah selang yang mengalirkan cairan berasal dari botol yang terpasang pada sebuah tiang tinggi. Aku tahu itu adalah sebuah infus, dan aku sadar aku saat ini berada di rumah sakit.

Cahaya jingga masuk menembus melalui jendela kaca, tirai kainnya melambai-lambai ditiup angin. Cuaca sore ini cerah, berbeda sekali saat terakhir aku sadar. Sebelum saat itu, ketika semuanya menjadi gelap. Lalu mimpi itu muncul. Mimpi yang indah. Mimpi yang manis. Mimpi yang begitu nyata. Apa yang aku alami dalam mimpi itu sama persis dengan apa yang aku alami di dunia nyata.

Badanku masih panas, tubuhku sangat lelah. Aku tidak berminat untuk bangkit dari tempat tidur. Aku tidak ingin melakukan apa-apa. Hanya berbaring untuk waktu yang lama. Selama mungkin.

Cahaya jingga mulai menghilang, gelap malampun datang. Seorang perawat memasuki kamar, untuk menghidupkan lampu. Aku berpura-pura masih tertidur. Dia menghampiriku, menyentuh keningku untuk beberapa saat, dan mengganti botol infus yang hampir habis, lalu pergi meninggalkan kamar ini.

Beberapa saat kemudian terdengar pintu kamar dibuka. Aku menoleh kearah pintu, dan aku melihat ayah dan ibu beserta beberapa orang lain memasuki kamar, lalu berdiri di dekat tempat tidur. Ibuku menangis sambil menggenggam tanganku. Ayahku berpangku tangan menatap cemas. Aku bangkit, dan langsung memeluk ibu. Tagisanku pecah, aku menangis sejadi-jadinya.

"Tidak apa-apa nak, ibu ada disini. Kami semua ada disini untukmu," kata ibuku.

Dalam pelukannya, kami masih menangis. "Adilkah semua ini ibu? Apa dosaku? Apa dosa Robby? Kenapa ini semua harus terjadi?"

"Kau harus sabar! Ini semua sudah ditakdirkan. Tuhan sayang kepada Robby, maka dia dipanggil terlebih dahulu." Ayah berbicara mencoba untuk menenangkanku, dia membelai-belai kepalaku. Begitu nyaman belaian itu. Tetapi tetap, tidak akan menghilangkan kesedihanku.

Kekalutan ini kembali datang, masa-masa indah yang begitu singkat aku lalui bersama Robby, dia selalu ada disisiku. Disaat terakhirnya Robby selalu ada untukku, dan akupun juga selalu ada untuknya. Aku merasa sendirian, aku terlalu sombong untuk menganggap begitu. Memang ada keluarga, teman, dan sahabat. Tetapi bukan mereka yang aku butuhkan! Aku membutuhkan Robby Fikri Wahyudi untuk ada saat ini!

Tangisanku belum berhenti, aku tidak bisa memikirkan apapun lagi selain menangis. Sudah lama aku berhenti berdo'a. Apakah ini sebenarnya dosaku? Aku telah melupakan tuhan, sehingga tuhan menunjukan kekuasaanya. Jika memang benar begitu adanya, aku mohon ampun pada-Nya. Aku mohon ampun telah melupakan-Nya. Begitu sombong rasanya, saat aku lupa akan keberadaan-Nya karena cobaan ini mulai datang.

Apabila masih ada cobaan lainnya yang lebih berat, maka datangkanlah. Aku tidak peduli lagi. Dunia ini akan terasa sangat dingin semenjak hari ini. Biarlah seperti itu, tidak akan ada yang mampu memberikan kehangatan seperti yang dia berikan. Paling tidak aku tidak ingin mendapatkannya. Yang aku inginkan hanya dia. Aku tidak ingin ada orang lain yang menggantikan tempatnya. Di hati ini pernah terukir nama Robby Fikri Wahyudi, dan nama itu tidak akan pernah terhapus. Tidak akan pernah ada nama lain menggantikan nama itu. Aku berjanji, dan aku akan menjaga nama itu tetap terukhir di hatiku.

***

Malam sudah larut. Beberapa orang sudah meninggalkan kamar ini untuk pulang ke rumah mereka masing-masing. Sebelum pergi mereka sempat mengucapkan beberapa kalimat untuk menunjukan simpati atas apa yang terjadi pada Robby, dan aku. Aku sangat menghargai rasa simpati mereka. Sebisanya aku tunjukan senyumanku yang berat sebagai tanda aku terhibur atas kedatangan mereka. Aku ingin merasa terhibur. Tetapi saat ini aku tidak bisa merasakan apa-apa.

Sampai saat semua orang sudah pergi dan menyisakan kami bertiga, aku, ibu dan ayah di dalam kamar, kami hanya banyak diam. Baik ayah ataupun ibu tampaknya tidak berani untuk berkata. Sepuluh menit, dua puluh menit, dan seterusnya. Semua ini begitu canggung. Sampai kapan aku bisa bertahan seperti ini?

"Ibu, apa yang terjadi padaku? Terakhir kali aku berada di pemakaman. Hujan turun begitu lebat, lalu semuanya menjadi gelap," aku bertanya pada ibu.

"Kau jatuh pingsan Laras. Kami panik saat kau jatuh tergeletak, dan tidak bangkit lagi. Ayahmu memutuskan untuk langsung membawamu ke rumah sakit ini. Kata dokter kau kelelahan. Badanmu panas, semenjak kau sampai disini, kau terus mengigau menyebut namanya. Oh, maafkan ibu, ibu tidak bermaksud mengingatkanmu tentang itu."

"Tidak apa-apa bu. Kita semua sudah tahu, dia sudah tidak ada."

"Oh, anakku. Kuharap kau tabah atas apa yang terjadi pada kalian. Beristirahatlah dulu, pulihkan kesehatanmu. Kami semua disini untuk selalu."

"Terimakasih bu. Aku tidak tahu apa aku bisa bertahan."

"Jangan berkata demikan! Itu sangat membuat sedih kami, ibu dan ayahmu. Bertahanlah demi kami. Kau adalah wanita yang kuat sayang. Ibu mohon bertahanlah."

"Aku tidak tahu, bu. Aku hanya tidak tahu. Semua ini terlalu berat. Saat ini aku hanya ingin sendiri, aku ingin tidur, bu. Biarkan aku sendiri."

"Tidurlah nak, tidur dengan nyenyak. Semoga besok kau sudah merasa lebih baik. Satu yang kau ingat kami selalu ada untukmu. Kami semua menyayangimu nak," kata ayahku.

"Aku tahu, aku juga menyayangi kalian semua." kataku sambil memalingkan posisi tidurku dari mereka. Tanpa mereka sadari, air mataku kembali berlinang. Aku tidak mereka tau. Aku tidak mau membuat mereka bertambah sedih. Biarlah kesedihan ini hanya yang menanggungnya.

Inilah kisahku yang menyedihkan. Kesedihan ini milikku. Aku tidak ingin membagi kesedihanku dengan orang lain. Seperti kenangan indah yang aku lalui bersama Robby. Semua itu adalah milikku. Masa indah itu sudah berakhir. Meskipun dalam waktu yang singkat, tetapi sangat indah. Aku tidak akan menyesal membayar masa-masa indah itu dengan kesedihan yang akan aku derita selama sisa hidupku.

padang
3 April 2017.






Embun Saat Kita BersamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang