3. Perfect is Imperfection

259 32 0
                                    


Kejadian tempo hari membuat Nindi gak mau lagi berada di satu tempat yang sama dimana hanya ada Nindi dan Richie. Nindi takut dipelototi lagi. Dipandangi sekilas saja cukup membuat Nindi gemetar. Apalagi dipelototi! Sudah gemetar, takut pula. Jadi, karena itu khusus pertemuan sekre hari ini Nindi memaksa Huda harus datang, sementara dia izin tidak enak badan.

Dan sekarang Nindi super bete, karena baru pertama kali di jam istirahat seperti ini dia tidak bersama Dyah. Hari ini Dyah tidak bisa tidak datang pertemuan karena harus mempresentasikan stan-stan dagangan apa saja yang kiranya diminati banyak orang saat penyelenggaraan Pensi kepada Yudhi dan Huda.

“Nindi, lo bilang mau belajar Ayat Jurnal Penyesuaian bareng? Berkat nginep di rumah Fajri semalem, gue udah dapet pencerahan! Ayuk belajar, gue pengen menerangi otak lo yang berlumut itu.” Nadya duduk disebelah Nindi sambil melambai-lambaikan buku tebal berwarna maroon garis-garis.

Nindi mendengus. Padahal otak Nindi dan Nadya sama-sama berlumut. “Baru dapet pencerahan dikit aja sombong lo. Gak mau ah lagi gak mood belajar.”

Percuma saja menolak, toh Nadya selalu punya cara untuk memaksa Nindi. Dengan pasrah Nindi mengikuti Nadya masuk ke dalam kelas. Tapi langkah Nindi terhenti ketika melihat seseorang sedang murung sendirian didepan kelasnya, kelas sepuluh Administrasi Perkantoran yang letaknya persis di depan kelas Nindi, hanya saja terpisah oleh lapangan kecil.

“Lo masuk duluan deh Nad. Gue mau beli jus kiwi dulu.”

“Okay.”

$$$

Sirin memandang sekelilingnya dengan sedih. Ditengah-tengah keramaian, ditengah suara cekikikan dan ramainya lapangan yang sedang dipakai latihan basket, juga orang-orang yang menonton di bibir lapangan,  Sirin malah berdiam sendirian. Seharusnya Sirin tidak usah lagi kaget dengan semua orang yang menjauhinya. Karena sejak pertama masuk sekolah beberapa bulan lalu, hanya segelintir orang yang mau berbicara dengannya. Itu juga hanya berbasa-basi. Setelah itu, mereka meninggalkan Sirin lagi.

“Kya!”

Sirin berjingkat kaget ketika ada yang menyodorkan segelas jus di depannya. Dia mendongak dan mengernyit melihat cewek yang menumpahkan jus kemarin sedang berdiri dengan cengirannya.

“Nih.” Nindi menggoyangkan jus di tangan kanannya pada Sirin. “Permintaan maaf atas seragam dan rambut lengket lo kemarin.”

Sirin tersenyum manis. Manis sekali. Nindi saja yang sesama perempuan merasa kagum, sekaligus iri. Bagaimana bisa seorang perempuan mengantongi kecantikan segitu banyaknya. Mungkin, wajah Nindi gak ada seujung kukuknya Sirin.
Sirin menerima jus berwarna hijau tersebut dan demi kesopanan, menawarinya duduk.

“Soal yang kemarin, sekali lagi maaf ya. Oh iya, hai, nama gue Nindi.” Nindi masih dengan cengirannya, menyodorkan tangannya pada Sirin.

Sirin menjabat tangan Nindi. Kali ini bukan demi kesopanan. Ada sesuatu dalam perpaduan antara cara Nindi berbicara dengan bahasa tubuh Nindi yang Sirin yakini, Nindi bukan hanya sekedar basa-basi.

“Sirin.” Sirin berujar kemudian menyeruput jusnya.

Nindi mengaduk-aduk jus dengan sedotan. “Kok lo sendirian aja sih di sini? Gak ke kantin?”

Sirin menggeleng sambil tersenyum. Tapi sekilas, Nindi menangkap kesedihan Sirin. Lama Sirin diam. Jangan-jangan karena pertanyaan Nindi, Sirin jadi sedih. Nindi jadi menyesal telah bertanya demikian. Nindi berpikir Sirin tidak ingin menjawab ketika Sirin justru bersuara kecil.

“Gak ada yang mau nemenin. Gak ada yang mau ajak gue ke kantin juga.”
Mata Sirin menatap lurus ke depan. Berpikir, apa yang sudah dilakukannya sampai-sampai tidak ada anak yang mau menjadi teman Sirin.

Sementara Nindi sangat mengerti mengapa tidak ada orang yang menjadi teman Sirin. Bukan karena mereka tidak mau. Mereka hanya merasa Sirin itu teman yang susah digapai. Takut mendekati Sirin karena mengira Sirin sombong. Begitulah orang, suka menilai segala macam padahal mereka hanya melihat dari jauh. Dan Nindi akui, Nindi juga orang yang seperti itu sebelumnya, menganggap Sirin sombong. Tapi kemarin, setelah Sirin bilang “Gak papa kok” sambil tersenyum padahal seragamnya sudah basah dan kotor karena Nindi, Nindi jadi mengerti kalau Sirin anak yang baik. Karena itu juga Nindi berani mendekati Sirin disini.

“Bukannya gak mau, mungkin mereka belum ngerti kalau lo juga butuh teman untuk ngobrol atau sekadar ke kantin.” Sirin memiringkan kepalanya bingung. Tapi Nindi gak ambil pusing. Dia kembali melanjutkan, “Kalau lo butuh teman ngobrol dan teman ke kantin, lo tinggal sebrangi lapangan ini dan cari gue di kelas depan sana.” Nindi menunjuk kelasnya sendiri. “Nanti gue kenalin juga sama beberapa teman gue yang bawel dan berisik.”

Kali ini Sirin mengulas senyum haru. Baru kali ini ada orang yang menyodorinya kalimat pertemanan yang sangat menjanjikan. Kehidupannya sebagai model di luar dan dalam sekolah membuat Sirin lupa bagaimana rasanya berteman. Karena selama ini, begitu banyak teman culas yang memanfaatkan ketenarannya. Membuat Sirin lebih selektif lagi memilih teman yang malah seringkali dianggap tidak mau berbaur dan sombong.

Note :

Di mulmed itu iseng bikin sekadar penyalur rasa frustasi belajar teori akuntansi.

Yosh! Mangat khal

31 maret 2017

Richie dan NindiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang