Bagian paling menyenangakan dalam pelarian adalah, sejauh apapun kamu berlari, selalu ada yang mengulurkan tangan dan menarikmu lagi.Nindi mendesah lelah. Banner yang masih harus dia pasang di sisi ruang aula dia geletakan begitu saja. Hari sudah gelap, namun Yudhi dan Huda masih tetap memeras tenaga anggota Osis. Hari sudah gelap, namun masih banyak hal-hal yang perlu dilakukan untuk mendekor ruang aula, setelah mengecatnya sesuai tema yang menghabiskan seluruh waktu siang dihari minggu ini.
Seberapa banyakpun anggota Osis TIK dan BM, tetap saja kewalahan mengecat ruang sebesar ini. maklum saja, sebagian besar dana mereka dimanfaatkan untuk mengundang guest star yang honornya lumayan wow. Sebagian lagi untuk membeli properti dan macam-macam. Mereka harus menghemat dengan mengerjakan semuanya sendiri. Terlalu mahal untuk memanggil tukang.
Nindi menarik napas lelah. Menghembuskannya. Menarik napas lelah. Menghembuskannya. Nindi ingin pulang. Ingin mandi, memakai pakaian kedodoran, lalu bergelung diatas kasur empuk, dibawah selimut tebal seperti bayi.
“Kalau lo cemberut mulu tapi diem aja kayak gini, sampai besok pagi juga gak akan kelar.”
Nindi menegang. Ini dia orang yang beberapa hari Nindi hindari karena Nindi hampir saja membuat adik orang ini terkena flu. Ahh, Nindi rindu. Padahal Nindi kira dengan menatapi dari jauh saja akan membuat Nindi merasa cukup. Tapi ternyata, diam-diam Nindi juga merindukan suaranya. Suara berat dan dalam milik Richie.
Nindi diam saja memperhatikan tangan Richie yang menarik Banner dibawahnya. Dia juga masih diam memperhatikan Richie yang naik ke atas bangku untuk memasang banner. Badan Nindi terlalu lelah untuk ikut membantu. Tapi mata Nindi tak pernah lelah menatapi Richie.
“Mana talinya?” tangan Richi terulur ke bawah. Tapi telinga Nindi seakan tersumbat detak jantungnya sendiri. “Talinya!”
“Uh-oh, eh, tali?” dengan gelagapan Nindi mencari Tali. Dimana ya dia menaruhnya tadi?
“Ck! Tangan lo, bego.”
Ingin sekali Nindi menjedotkan kepalanya ke lantai begitu melihat tali yang ternyata dia liliti di tangannya sendiri.
Tanpa bantuan Nindi sama sekali, banner pun terpasang dengan rapi. Padahal semua sudah kebagian tugas, tapi tugas Nindi malah dikerjakan orang lain. “Sorry ya ngerepotin.” Ucap Nindi begitu Richie sudah turun.
“Lo emang selalu ngerepotin, kan?” tanyanya sarkastik.
Apa-apaan itu. Richie ganteng-ganteng sukanya ngajak ribut ya.
“Kalau ngerepotin ya bang Richie gak usah bantuin Nindi. Toh Nindi bisa kerjain sendiri.”
“Kalau gak mau ngerepotin orang, ya cepet kerjain. Lo ngehambat kita buat selesai, tau gak?”
Nindi mendongak menatap Richie kesal, sementara Richie menunduk menatap Nindi dengan datar. Datar, tapi sialnya malah makin tampan.
Nindi jadi ingat pertama kali bertemu Richie beberapa bulan lalu, hari pertama Nindi menjadi anggota Osis. Huda membawa semua anggota Osis ke Sekretariat Pertemuan untuk saling memperkenalkan anggota baru BM dengan TIK. Saat itulah Nindi melihat Richie memperkenalkan diri sebagai Osis TIK. Anak kelas 2 yang menduduki jurusan Teknik Komputer dan Informatika. Sejak saat itu Nindi tak bisa berhenti curi-curi pandang dan mencari tau tentang Richie. Nindi sampai rela menelusuri kotak Followers dari akun instagram Huda yang isinya ratusan untuk mencari akun Richie. Dan bertambahlah rasa suka Nindi setelah menstalking instagram dan ask.fm Richie.
Richie ganteng banget sihhhhh. Desah Nindi dalam hati.
Nindi tidak sadar, rasa kesalnya sudah berubah menjadi kagum melihat mata Richie yang tajam kecoklatan.
“Bang Richie sengeselin apapun, gantengnya gak pernah luntur ya.”
Richie mengernyit mendengar racauan Nindi. Tapi kemudian dia mengetuk pelan jidat Nindi untuk menyadarkannya sebelum berbalik dan melangkah pergi.
6/04/2017
Khal
KAMU SEDANG MEMBACA
Richie dan Nindi
Teen FictionItu bang Richie, yang Nindi suka. Bang Richie yang ganteng itu, lho. Tapi sayang orangnya galak banget. Suka melototin Nindi lagi. Parahnya, bang Richie udah punya pacar. Trus, Nindi harus gimana? Nindi tau; terima cintanya Fredik!