5. UKS

236 31 1
                                    


“Argghhhhh!!!”

Nindi guling-gulingan di atas kasurnya. Padahal tadi dia sudah membayangkan akan tidur nyenyak sehabis mandi air hangat. Tapi mata Nindi tidak bisa tertutup sama sekali. Pikiran Nindi melayang pada kejadian tadi. Rrgghh! Bodoh! Apa yang tadi dikatakannya?! Nindi pasti sudah gila.

Bang Richie sengeselin apapun, gantengnya gak pernah luntur ya.

Gantengnya gak pernah luntur ya,

Gantengnya gak pernah luntur,

“AAAAKKKKKK!” Nindi mengacak rambutnya. Gemas dengan dirinya sendiri yang tadi meracau tidak karuhan.

Tadi itu, Nindi tidak sadar sudah mengatakan hal yang memalukan. Yang Nindi tau, saat kesadarannya kembali Richie sudah melenggang pergi. Jahatttt!!! Mulut biadab!
Dan sekarang, jam enam pagi di depan cermin kamarnya, Nindi melihat penampakan yang begitu mirip dirinya. Kantung mata yang begitu kentara seperti panda. Wajah pucat, dan rambut acak-acakan.

Oh, kenapa hari ini harus menjadi hari senin? Semalam Nindi sampai lupa kalau hari ini dia harus kembali bersekolah. Mengingat badannya yang letih dan kurang tidur, Nindi tidak yakin bisa melewati jam pelajaran dengan baik.

Dugaan Nindi benar. Sepanjang pelajaran Nindi sama sekali tidak fokus. Dalam satu transaksi saja, Nindi bingung harus menggunakan akun apa saja. Dia bahkan bingung penempatan debet dan kreditnya.

Walaupun Nindi tidak terlalu pintar, setidaknya Nindi sudah bisa membuat jurnal umum. Tapi ini, semuanya seperti berputar-putar di kepala Nindi. Akhirnya, Nindi hanya menelungkupkan kepala di atas meja dengan bantuan Nadya agar tidak ketahuan guru.

Hingga istirahat tiba, Dyah yang baru datang ke kelas Nindi langsung membawanya ke UKS.

“Lo tidur aja.” Ujar Dyah setelah meminumkan obat pada Nindi dan menidurkannya di kasur sebelah kanan ruangan. “Gue harus ke Sekre sekarang, ya lo tau kan rabu nanti kita pensi. Kejar deadline. Nanti gue ijinin sama kak Huda dan guru lo di kelas. Soalnya kan—“

Nindi tidak lagi fokus pada Dyah. Kesadarannya perlahan-lahan menghilang sebelum benar-benar terlelap.

Dyah sedang menaikan selimut Nindi sampai sebatas leher ketika mendengar beberapa langkah kaki cepat memasuki UKS dan suara panik seorang cewek yang dikenalinya.

“Ya Heru, disana. Turunin pelan pelan, ya ampun.”

“Kiran?” Panggil Dyah bingung melihat Kiran yang panik. Kiran adalah seorang kenalan Dyah dan Nindi dari kelas Administrasi. Mengikuti eskul yang sama; Photography.

“Dyah! Ah ya ampun gimana nih?!” tanyanya panik. “Sirin... pingsan.”

Pandangan Dyah beralih pada Sirin yang tergolek tak sadarkan diri di atas kasur.

“Gue duluan ya.” Pamit Heru. “Tanggung jawab lo.” serunya membuat Kiran nampak tambah panik.

Sepeninggal Heru, Kiran tertunduk sedih melihat Sirin. “Tadi gue lagi iseng main basket. Terus... gak sengaja bola basketnya terlempar ke pinggir lapangan. Terus... kena Sirin. Gue rasa, gak sekenceng itu. Tapi, tapi dia pingsan. Yah, gimana kalo dia geger otak?!”

“Suhhh jangan berisik bego.” Dyah menghampiri Kiran, menepuk bahunya pelan. “Gak akan separah itu kok."

$$$$

Richie tergopoh-gopoh berlari untuk mencapai ruang UKS di gedung sebelah. Baru saja dia mendapati info bahwa Sirin pingsan terhantam bola basket. Sesampainya disana, dia berpapasan dengan dokter penjaga yang hendak keluar.

“Dokter, Sirin—“

“Ahh, Richie kakaknya Sirin. Benar?” dokter Osa tersenyum melihat anggukan Richie. “Sirin sudah siuman, tadi. Tapi sekarang dia sedang tidur. Tenang saja, Sirin hanya butuh istirahat.”

“Kepalanya bagaimana?”

Dokter Osa tertawa hangat. “Tidak ada yang salah dengan kepalanya sama sekali. Sirin bilang, dia bahkan tidak merasa terkena bola basket sama sekali. Dia hanya terlalu lelah. Richie, bantu dia mengatur jadwal. Jadikan pekerjaannya sekarang sebagai sampingan karena dia masih anak sekolah. Jangan jadikan pekerjaan sebagai foto model tersebut sebagai kegiatan utama yang harus dia penuhi. Saya takut akan terjadi hal yang lebih buruk pada tubuh Sirin kedepannya.”

Richie menghembuskan napas lega mendengar tidak terjadi apapun dengan kepala Sirin. Dia berjanji sehabis ini, dia akan melarang Sirin menjadi foto model disaat dia sendiri masih bersekolah.

Setelah dokter Osa pergi, Richie beranjak ke dalam ruang UKS. Dielusnya kepala adik yang selama ini teramat sangat dia cintai.

Sirin pasti kelelahan disamping tugas sekolah yang menumpuk, dia masih harus berpergian dari tempat satu ke tempat lainnya untuk pengambilan gambar. Walaupun Richie ikut sesekali, tapi dia tidak pernah menjadikannya pekerjaan seperti yang dilakukan Sirin. Richie mengerti bahwa Sirin sangat mencintai dunia permodelan. Sirin bilang, dia terlahir hanya untuk sebagai model. Dia tidak mau pekerjaan yang lain. Richie juga tidak pernah menentangnya selama ini. hanya saja, lihat sekarang, Sirin begitu kelelahan hingga jatuh pingsan.

Richie mengambil satu tangan Sirin untuk dibawa kegenggamannya. Richie harus meminta Sirin untuk berhenti, atau paling tidak mengurangi job yang dia ambil. Dia tidak mau melihat Sirin jatuh sakit seperti ini.

“Hu... huu...” Richie mengerutkan dahi mendengan lirihan tangis.dia menajamkan telinganya guna mencari dimana gerangan datangnya suara yang jika saja malam hari, akan membuat bulu kuduk Richie berdiri.

Dari sana, Richie yakin. Disebrang kasur Sirin, tertutupi tirai. Disanalah suara itu berasal. Richie melangkah pelan. Mencoba seyakin mungkin untuk menyibak tirai yang menjadi satu-satunya pemisah dia dengan siapapun, atau apapun yang berada dibalik sana.

Kritt...

Menampakkan sepasang sepatu dominan hitam, Disibaknya tirai semakin lebar. Rok abu-abu, seragam putih, dasi abu-abu dan... Nindi?

Nindi yang ada dihadapan Richie dengan posisi tidur berantakkan, selimut yang jatuh tak berdaya di kaki ranjang, rintihan tangis yang pelan dan bulir-bulir keringat di pelipisnya.

Richie menyibak keseluruhan tirai sehingga lenyap sudah penghalang diantara mereka. Dipungutnya selimut untuk diselubungi kembali ke badan Nindi. Diamatinya wajah Nindi yang dipenuhi titik-titik keringat. Perempuan ini, bisa sakit juga ternyata.

Richie mengingat beberapa pertemuan terakhir mereka yang begitu menyebalkan. Gadis ini benar-benar gadis nyolot. Bukan tipenya sama sekali. Dia sebal dengan gadis seperti Nindi yang selalu buat emosi.

“Huu.... hu.. huu...” Nindi masih saja menangis tanpa air mata didalam tidur.

Richie mengulurkan tangan menggapai dahi Nindi untuk membersihkan bulir-bulir keringat Nindi dengan handuk kecil yang nanti akan dipakainya untuk main futsal hingga wajah Nindi bersih. Tapi tangisannya tak kunjung berhenti.

Merasa kasihan dengan wajah tersiksa Nindi, Richie menepuk-nepuk pelan kepala Nindi untuk menenangkannya. Tak berapa lama kemudian, tangisan Nindi mereda hingga hilang sama sekali. Wajah tersiksanya tergantikan dengan wajah gadis yang sedang tertidur pulas.


Khal,
12 april 2017

Richie dan NindiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang