Setelah malam naas itu, Azkia telah memutuskan diri untuk pindah ke sebuah perumahan, milik keluarganya yang memang dari jauh hari diperuntukkan khusus. Untuk jaga-jaga seperti ini.
Meski bentuknya sederhana. Keasrian dan kenyamanannya tak kalah dengan rumahnya, ralat, rumah milik ayah dan ibunya yang terbilang mewah nan megah. Terletak di kawasan elite kota, pun tak jauh beda dengan perumahan yang ia huni sebelum pindah dari sini.
Azkia bukannya ingin lari dari kenyataan atau pun menjadi seorang pecundang. Ia hanya butuh ketenangan dan kedamaian hati untuk harinya yang tak ingin lagi terusik terus-menerus akibat hadirnya seseorang. Erick, ya orang itu pantang menyerah sekali untuk merebut hatinya. Padahal sudah beberapa kali sebuah penolakan dan makian terlontar dari mulutnya. Namun tetap saja ia seperti itu. Ucapan dan makian darinya hanya dianggap angin lalu yang masuk telinga kiri keluar ke telinga kanan.
Akan tetapi, sepertinya rancangan tentang harapan itu pupus, runtuh, hancur dan orang itu mungkin akan selalu menjadi bayang dalam hidupnya. Bukan hal sulit memang jika ia sudah tahu keberadaannya. Mengingat dirinya yang selalu menguntit Kia kemanapun. Dan tentu saja, Erick mengirimkan hal serupa yang biasa ia lakukan sebelum akhirnya Kia pindahan.
Terlalu cepatnyakah ia tahu?
*
Azkia segera keluar dari taksi lalu membayarnya setelah sampai. Ya, tadi pagi ia sudah melamarkan diri disalah satu perusaahan asuransi ternama.
Siang itu, sehari setelah pindahan dari perumahan lama ke perumahan baru. Azkia telah bersepakat pada sang ayah untuk membiarkan dirinya bekerja diluar perusahaan yang dimiliki oleh keluarganya. Ayahnya tentu saja menolak dan mengatakan keberatannya. Meninggalkan anak gadisnya untuk hidup mandiri. Bagaimana tidak, ia adalah seorang anak dari pengusaha property terkaya dan ternama no. 2 yaitu Jitco Corporation setelah perusahaan Esso Corporation yang dimiliki oleh Fadly Effendi sekaligus saingan berat Gunawan Fauzi ayahnya.
Sedangkan ibunya, Hermita Susianti adalah seorang wanita sosialita yang hidupnya selalu tak jauh-jauh dari benda-benda mewah yang tertempel sempurna ditubuhnya. Dari merek ternama luar negeri sampai barang limited edition pun ia beli hanya karna kegengsian dan sebuah image yang disandingnya sebagai istri dari pengusaha kaya.
Ia tentu tidak suka akan kehidupan orang tuanya yang terlalu bermewah-mewah dalam hidup itu. Terlalu muak, bosan dan monoton. Cukup saja ia rasakan saat masih duduk dibangku SD sampai SMA yang sangat mempengaruhi pola pikir temannya. Yeah, ia tahu bila teman-temannya hanya menginginkan kekayaan bila bisa berdekat dengan Azkia. Memanfaatkan untuk traktiran atau berbelanja barang mewah. Hingga diakhir sekolah SMA ia menyadari semua dan memulainya dari awal. Berhidup mandiri. Tak lagi menjadi anak manja yang terus menengadahkan tangan kehadapan orang tua. Karna sungguh saja, hidup kaya tak lagi menjamin kebahagiaan seorang manusia. Melainkan kepuasan sesaat yang menghancurkan nalar dan pikiran. Terlalu memperturut ambisi duniawi, hingga terlalai dalam menyantuni kaum fakir yang masih memperlukan uluran tangan sepertinya.
Lagian, Kia masih bisa hidup kok, tanpa harus bermewah-mewah.
Azkia tentu mendapat penentangan dari orang tua saat dirinya memutuskan untuk hidup mandiri begitu memasuki awal semester perkuliahan. Ayahnya yang menentang keras sebelum akhirnya menyerah. Dan inilah kepindahannya yang kedua kali, tentu saja dengan sedikit rengekan manja khas anak perempuan membuat ayahnya menjadi kalah dan langsung menuruti keinginan putrinya itu.
Deg...
Jantungnya berdetak 2x kencang, sampai mampu menghentikan laju langkah saking terkejut dan syoknya.
Disana, diambang pintu depan, seorang pria berperawakan proporsional tengah berdiri membelakanginya. Sementara, tangannya menenteng bunga mawar dan tangan satunya lagi memencet bel dengan berulang. Namun, tak ada intruksi satu pun yang menyuruhnya untuk masuk.
Bagaimana bisa masuk? Kalau pintu saja belum terbuka?"Erick!!" Ia refleks berucap karna sungguh tak menyangka saja. Orang yang dihindarinya datang kerumahnya, dihadapannya yang hanya berjarak 3 meter darinya berdiri.
Merasa ada yang memanggilnya, pria yang tak lain Erick tersebut menoleh dan begitu didapatinya Azkia yang memanggil, bibirnya melengkungkan senyuman yang terkembang manis. Dengan cepat kakinya merefleks, melaju cepat tanpa ada keraguan sedikitpun kearahnya.
Azkia melotot tajam, sedangkan mulutnya entah sejak kapan menganga agak lebar melihat Erick ada disini.
Bagaimana ia bisa tahu hanya dalam beberapa hari saja?
Drrrt...drrtt...
Hpnya bervibrate seperti sebuah alarm yang mengirimkan sinyal akan diamnya ditempat. Kia yang mengantisipasi hal buruk terjadi selanjutnya, dengan segera mengambil persiapan untuk berlari sekencang mungkin, menghindari Erick seperti orang kesetanan.
Dirasa sudah menjauh, ia membungkukkan badan untuk mengatur napasnya yang masih tersengal. Sedang matanya, ia menoleh kebelakang. Memastikan Erick tidak mengejarnya sampai sini. Hampir-hampir melonjat senang, tatkala sosoknya tidak mengejarnya lagi sejauh ini.
Ia pun menghentikan sebuah taksi yang berlintas didepannya dengan cepat. Masuk kedalamnya dengan napas yang masih memburu dan tersengal. Sesak namun ia berusaha untuk mengatur agar napasnya kembali teratur seperti sedia kala.
"Pak, jalan!" Ujarnya tatkala napasnya kembali normal.
"Kemana?" Sang supir bertanya lewat kaca diatasnya.
"Nanti saya akan tunjukkan!" Jelas Kia yang memang pikirannya belum jernih karna pria itu. Pria yang dihindarinya itu tiba saja kembali hadir? Sial!
Kalau saja ia tak teringat, mungkin akan ada adu mulut lagi. Dan itu membuatnya lelah secara fisik maupun mental. Ahh, membayangkannya saja sungguh mengesalkan apalagi bila sudah terjadi? Ngapain kepikiran kesana? Bukankah ia bersyukur? Berkat hpnya yang bergetar untuk memberikan tanda alarm bahaya mungkin akan terjadi yang demikian.
Ngomong-ngomong, ia jadi penasaran siapa yang telah menyadarkannya itu. Segera saja, ia rogoh saku kulot yang dikena. Mencari hp, lalu membuka lock screennya.
Panggilan dari nomor tak dikenal?
Ia sedikit mengernyit melihat catatan panggilan itu. Aneh dan terbingung, mengapa datang diwaktu yang tepat seperti tadi?
Apakah tuhan tahu jika ia sedang mengalami kesusahan?
Tak mau ambil pusing, ia pun memanggil ulang nomor itu.
"Maaf nomor yang anda tuju sedang tidak aktif. Mohon, tunggu beberapa saat lagi"
Karna penasaran, ia pun lagi, lagi dan lagi menelpon. Namun tetap saja suara operator yang menyahut panggilannya.
Ah, mungkin saja ini pertolongan dari Allah untuk hambanya yang sedang mengalami kesusahan, pikirnya. Lantas menyuruh pak sopir menuju pusat perbelanjaan.
"Pak, antar saya ke mall!"
"Baik bu!"
Setelahnya, ia menyapu pandang ke sekeliling jalan yang sedikit macet. Menghilangkan keanehan dan kejanggalan yang akhir-akhir ini terjadi menimpanya. Mungkin, semua yang ia lakukan sia-sia! Haruskah ia menghadapi semuanya? Ya, mungkin hal itu yang harus ia lakukan sekarang bukan lagi lari darinya. Karna bagaimana pun besarnya kita menjauh pergi darinya bila takdir berkata lain, kita pasti akan berjumpa jua dengannya.
Sulit dan tak semudah yang dibayangkan? Mungkin, kegagalan akan suatu hal pun bisa terjadi seketika. Seperti saat ini misalnya. Tapi, setidaknya diri ini sudah berusaha sebisa mungkin. Walau terkadang, hasilnya tak sesuai dengan angan maupun impian yang kita inginkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
✔Heart To Be Hurt? [Completed]
Ficción General1#end30.11.18 2#end15.11.18 1#end20.01.19 Rating: 13+ Suara tirai yang terdengar nyaring membuatku terusik. Akupun mencoba untuk mengerjapkan mata, memfokuskan bayang hingga secercah sinar mulai muncul. Menampilkan siluet pria berkemeja hitam. Ia t...