Asap di Balik Cerutu

15 5 0
                                    

Sumpah guys sorry banget baru update nih cerita. Ada kendala moody, dan tugas seabrek kuliah *nyengirpengenditimpuk
Jan lupa tinggalin jejak di cerita gue ya! And this is will be better after u leaving comments. Thanks and enjoy read ^_^

Sumpah aku berani bertaruh bahkan sampai pukul 10 malam pun Rengga tidak akan pernah datang menjemput ku di sini. Ya. Di halte ini. Dari suasana halte yang ramai sampai kosong melompong menyisakan aku seorang diri. Cewek mungil dengan topi rajut yang berdiri bak kambing congek menunggu seorang cowok yang belum pasti kapan dia datang. Sudah jelas aku kehilangan kesabaran. Ini bukan yang pertama kali bagi Rengga terlambat datang. Entah untuk sekadar iseng saja atau memang dia punya kapasitas otak terlalu jongkok dan dia jadi pikun akut!

Oke lupakan. Itu hanya sebatas umpatan karena terlalu kesal. Jauh di lubuk hati sebenarnya pun aku harap-harap cemas menunggu Rengga.

"Ya ampun demi Tuhan Ngga, kamu kemana sih? Bisa mati berdiri aku lama-lama!" Rutukku geram sembari terus mencoba menghubungi Rengga via ponsel. Sambungan ponselnya selalu sibuk.

Kalau ada bus umum yang masih lewat pada jam malam seperti ini tanpa pikir panjang aku akan segera menumpanginya. Tapi sialnya bus bus umum itu seperti sudah kelelahan setelah seharian mengangkut penumpang dengan beragam jenis. Jadi memilih hengkang sementara saat ini dan menyisakan aku yang berdiri—sendirian—tanpa siapapun. Ya oke mungkin ini berlebihan. Tapi jika seseorang jadi aku mungkin akan merasa, takut, cemas, kesal, dan demi Tuhan ingin menangis sekencang-kencangnya.

Angin malam meniup-niup helai rambutku yang mulai tak teratur. Poniku sudah tidak lagi menirai seperti pagi tadi. Sementara itu hujan rintik mulai turun.

I'm only one called away. I'll be that a safed the day. Superman got nothing on me. I'm only one called away...

Lagu Adam Smith itu bak angin hangat di tengah dinginnya hujan. Aku ingin berlonjak-lonjak kegirangan karena lagu itu, saking bahagianya. Aku berharap ada tanda-tanda Rengga yang menjadi penelepon. Biar aku bisa semprot habis dia setelah ini.

Unknown caller

Glek!
Nomor tidak dikenal. Kurasa ada sesuatu yang tidak benar. Kuangkat panggilan masuk itu dengan ragu-ragu. Jujur saja pikiranku sudah melayang entah kemana. Memikirkan kemungkinan terburuk pada si penelepon. Beranggapan kalau-kalau ia adalah seorang teroris jadi aku sudah mulai memperhitungkan taktik untuk lolos darinya. Tapi itu berlebihan!

"H-halo?"

Tut tut tut tut!

Sambungan telepon diputus! Demi Tuhan. Aku ingin pergi secepatnya dari tempat ini. Aku benar-benar sendirian. Sepi mengepungku. Dan Rengga sama sekali tidak ada itikad untuk meminta maaf padaku barang hanya meneleponku sebentar untuk mengutarakan alasannya mengapa ia lupa menjemputku.

'Rengga sialan!' Umpatku terhadap Rengga.

Srek.. srek..

Kudengar ada suara berisik di balik rumput gajah di belakangku. Aku penasaran tapi rasa takutku berhasil menguasai. Kuurungkan niat untuk menoleh. Aku memilih untuk diam di tempat dan memastikan Rengga akan menjemputku dalam waktu 30 menit. Ini gila! Pukul 22.30 aku sendirian di halte tanpa teman satu pun. Dan mulai ada teror teror dari makhluk astral.

Srek... Srekkk... Srekk..

Suara itu jelas bukan imajinasiku. Suara itu nyata. Dan aku mendengar kembali. Kali ini intensitasnya lebih banyak. Dan hatiku kacau tidak karuan.

"Kumohon ada siapa di sana? Tolong jangan menggangguku. Karena aku hanya menumpang berteduh di sini!" Aku mencoba sebisa mungkin menenangkan diri.

Aku tidak mungkin kabur saat ini juga dan menerobos hujan deras. Lagipula jalanan sepi. Hanya ada satu dua mobil yang terlihat lewat. Ini benar-benar sudah malam. Dan aku—seorang gadis masih berdiri di sini ditemani dengan suara-suara aneh. Bulu kudukku berdiri. Antara kedinginan dan ketakutan. Perpaduan yang sangat komplit.

"Kumohon jangan ganggu aku!" Suara itu semakin mendekat!

"Demi Tuhan aku tidak akan mengganggu mu!" Langkah itu terhenti.

Srek... Srekk

Dan akhirnya terdengar lagi. Ia semakin mendekat ke arahku. Mendekat, mendekat, dan men-de-kat. Semakin dekat. Aku semakin rapat menutup mataku.

"Happy birthday Faira." Suara itu lembut nyaris tak terdengar di telingaku.

Aku terbelalak. Rengga sudah berada di depanku dan apa-apaan ini? Teman-teman sekelasku juga? Ya Tuhan!

"Selamat ulang tahun Fai. Maaf kalau caraku bikin kejutan buat kamu malah bikin kamu kesel." Lanjutnya dengan senyum termanis sepanjang sejarahku bersamanya.

Aku hampir menangis. Rengga menyodorkan buket mawar. Dan rombongan anak-anak kelas menyalakan lilin yang membentuk love. Aku sudah menangis sekarang.

"Kamu ini ya?! Aku hampir mati berdiri nunggu kamu di sini. Takut sama suara-suara aneh yang kamu dan mereka buat! Suara kaki terseret terdengar seram!"  Semprotku tidak ada ampun untuk Rengga.

Respon cowok itu justru sebaliknya. Kukira ia akan terbahak karena triknya mengerjaiku berhasil. Tapi alih-alih tertawa ia malah mengerutkan kening.

"Tapi kami sama sekali tidak menyeret kaki. Malah kami berjinjit. Dan kami langsung maju lebih dekat sama kamu, karena kamu udah nutup mata rapat. Kami pikir kamu justru sudah tau kalau kami datang."

Ya baiklah. Kurasa memang suara tadi bukan milik mereka.

Love In a Cup of MatchaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang