Bencana Pertama : Anggun Hilang

598 33 20
                                    

Afa mengetuk dengan cepat pintu kamarnya sendiri. Di wajahnya tampak raut kegelisahan yang tak terbendung. Sesekali ia melihat ke belakangnya. Seakan takut sedang di ikuti oleh sesuatu. Tak lama pintu kamar terbuka. Afa menjerit keras, dengan refleks mundur beberapa langkah.

"Mama apa-apaan sih, masih pagi kok udah maskeran aja. Bikin papa jantungan." Gerutu Afa.

"Semalem kan mama udah bilang, jam sembilan mama mau ikut arisan komplek di rumah jeng Sella. Lah, papa sendiri ngapain ngetok pintu kayak dikejar satpol pp."

"Iiih, mama apa cih ingetin masa lalu aja ih. Kan mayu." Afa mendadak ngondek lalu menggaruk-garuk kusen pintu.

Citra melotot, Afa mendadak salah tingkah. Dengan segera merubah sikapnya menjadi lelaki seharusnya.

"Anu ma, mama liat anak kita si anggun nggak? Semalem papa mimpi buruk soal dia." Ucap Afa dengan cemas.

Citra menatap Afa dengan tatapan kosong.

"Mama masih ingetkan yang kemarin papa ceritain. Papa nggak sengaja liat chat dia sama si Japut cowok yang dia kejar-kejar itu loh ma. Anggun ditolak sama Japut ma. Bayangin ma, anak kita yang, ah sudahlah, ditolak ma. Semaleman papa mikirin sampai kebawa mimpi ma. Papa khawatir."

Citra masih menatap Afa dengan tatapan kosong. Perlahan Citra mundur lalu menutup pintu kamar dan menguncinya.

"Maa, mama, kok malah dikunci lagi sih. Aduuh, ini gimana ceritanya."

Afa bergegas ke lantai dua. Sesampainya di depan kamar Bella, Afa mengetuk dengan cepat dan tergesa seperti sebelumnya. Tak lama pintu terbuka.

"Ada apa pa. Hari ini aku gak butuh uang jajan. Yang kemarin belum habis. Hari ini aku juga nggak mau kemana-mana." Ucap Bella dengan wajah kusut. Tampak bekas iler yang baru saja dihapus Bella dengan tangannya.

"Kakak kamu tidur disini? Di kamarnya nggak ada"

"Dia udah mati sesak nafas pa, kalau berani coba-coba tidur bareng aku." Sesaat kemudian wajah Bella mendadak berubah tegang, tak lama terdengar bunyi keras.

"Dhuutt... Brobotbotbot..."

"Aduh pa, aku mau ke kamar mandi. Ada yang ikutan keluar nih." Ucap Bella sambil memegangi pantatnya. Tanpa menunggu persetujuan Afa, Bella berlari ke kamar mandi. Meninggalkan Afa yang masih megap-megap berusaha mencari udara segar.

Afa pun teringat sesuatu. Dapur. Ya, Afa baru teringat kalau belum mengecek area dapur. Siapa tau juga si penunggunya bisa memberikan jalan keluar.

Sesampainya di dapur Afa menoleh ke kanan-kiri mencari sesuatu. Setiap pintu lemari dibukanya. Kulkas pun tak luput dari pencariannya. Tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya.

"Eh, banci kaleng kampret kutuan kurang ajar lo ya!" Ucap Afa terkejut. 'JEDUK!' Afa tampak mengelus kepalanya yang sedikit benjol. "Aduhh..."

"Bapak lagi ngapain masuk ke kolong wastafel?"

"Astaga Coyot! Kamu jangan ngagetin gitu dong ah. Nanti kalau jantungan saya kumat bagaimana?"

"Ya, saya gantiin bapak jadi suaminya ibu." Ucap Coyot datar.

"Amit-amit... Eh, emangnya kamu mau?"

"Ya enggaklah pak! Gila aja kali. Ntar yang ada rambut saya abis di unyek-unyek sama ibu." Coyot terlihat mengelus rambut panjang kesayangannya. "Bapak nyari apaan sih di dapur? Laper? Saya belum sempet ke mall pak."

"Cari anggun, di kamarnya nggak ada, di dalem kulkas juga nggak ada. Kamu tau nggak tempat persembunyiannya yang lain?"

"Di pojokan ruang mesin cuci." Coyot berkata sambil mengacungkan jempolnya. Afa mengangguk lalu beranjak pergi. "Anu pak, ibu belum ngasih saya uang buat shopping ke mall."

Afa kembali lalu menyerahkan sepuluh lembar uang seratus ribuan. "Harus habis ya. Saya nggak mau tau caranya bagaimana." Coyot tampak senang dan mencium lembaran uang yang baru saja diberikan. Setelah Afa menghilang Coyot menghubungi seseorang.

Di ruang mesin cuci Afa memanggil-manggil Anggun. Tapi tidak ada jawaban sama sekali. Tak lama terdengar suara seperti anak tikus yang sedang kejepit pintu. Suaranya hilang-muncul membuat bulu ketek Afa bergetar. Dengan menyeret kakinya yang mendadak kaku, Afa menghampiri sumber suara.

"Ya tuhan, Anggun kamu jangan siksa anak tikus kaya begitu dong. Ayo lepasin!"

"Ini suara nangis aku pa..." Ucap Anggun berusaha mengatur nafas dari lubang hidungnya yang minimalis. Dan juga air matanya yang mengalir deras.

Afa terenyuh, ia duduk di sebelah Anggun.

"Sudahlah nak. Hilang satu tumbuh seribu."

Tangis Anggun bukannya berhenti. Malah semakin keras dan berubah seperti anak kucing yang sedang kejepit pintu. Setelah berhasil mengatur nafas, Anggun kembali berbicara.

"Dulu papa suka nolakin cewek-cewek ya... Masa kata Ratu aku dikutuk karena papa dulu suka nyakitin hati perempuan."

Afa terkejut.

"Ceritanya nggak gitu nak, papa bisa jelasin kok."

"Tuh, kan bener. Kata Ratu juga papa harus minta maaf sama cewek-cewek yang dulu papa tolak. Kalau nggak, kutukan jomblo aku nggak akan hilang."

Afa menggaruk kepalanya.

"Harus semuanya? Itu kan banyak banget."

Anggun menangis semakin keras, ia berguling-guling ke kanan dan kiri. Sesekali ia menggeram dan menggaruk lantai. 'Saha maneh. Aing macan penunggu di dieu.' Afa mundur dua langkah.

"Iya sayang... Iya, nanti papa samperin semua cewek yang dulu papa pernah tolak. Papa janji."

Seketika Anggun berubah sikap. Suara anak tikus, anak kucing, dan juga macan menghilang. Tangannya dimajukan ke depan Afa seperti hendak meminta sesuatu.

"Bagi duit pa, sekarang aku laper."

"Yah, duitnya udah papa kasih semua ke Coyot."

"Ah, papa jahat. Lebih sayang sama pembantu dari pada anak sendiri!" Ucap Anggun sambil menangis dan meninggalkan Afa yang semakin kebingungan.

"Duh, mulai dari siapa dulu ya. Fika, Amira, Audi, Siska, Salma, Nithana atau Mirah ya. Eh, ada yang belum kesebut kayaknya. Duh, itu kan banyak banget." Afa menggaruk kepalanya yang tak gatal.

Keluarga BencanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang